Sementara itu di rumah besar keluarga Daiva Jorell.
“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Kalevi!” Molly yang sedang berada di ruang kerja Daiva, tampak gusar mondar-mandir berbicara lewat ponsel di tangannya.
“Kau harus bisa menekannya untuk bersumpah setia, Molly! Kita sudah cukup lama memberinya kebebasan!” terdengar balasan kesal di seberang sana.
“Tapi Sayang, aku betul-betul tidak sanggup! Dia semakin berani membangkang sekarang. Kau bahkan bisa lihat sendiri, dia sudah seenaknya keluar dari perusahaan tanpa seizin kita!”
“Lalu apa maumu?! Kau ingin membiarkannya begitu saja selamanya?! Seharusnya kau bisa lebih cerdik dari adikmu!”
“Aku lelah, Daiva!”
“Bukan urusanku! Kalevi adalah adikmu, didik dia agar sesuai dengan harapan kita!”
“Tapi –“
“Aku sibuk! Tiga hari lagi aku baru bisa pulang. Ingat pesanku, Molly!”
“Daiva, Aku belum selesai! – halo! – Daiva! – Akh! Sial!”
Molly terperenyak di atas sofa. Hatinya sudah mendekati putus asa terhadap persoalan yang menimpa. Baginya menghadapi kegilaan Kalevi mampu membuatnya ikut-ikutan merasa tidak waras. Sementara suaminya, sudah tidak mau tahu seberapa stresnya dia sekarang.
“Sial! Andai saja Kalevi tidak mencintai Soa, pasti aku masih bisa mengendalikannya sekarang!” Molly terus memijat-mijat dahinya sambil mencari akal bagaimana bisa mengendalikan adiknya lagi.
Mencari, mencari, dan mencari. Hingga tak lama kemudian terpikirkan sebuah nama yang ia anggap bisa membantunya.
“Megha! Benar. Aku harus memintanya membantuku.”
***