Soa menoleh pada suara keras itu. Ia lihat seorang wanita telah berdiri di depannya. “Ge – gensi?”
Dengan cepat Gensi berjongkok. “Kau tidak apa-apa, Soa?”
Soa mengangguk yakin. “Aku baik-baik saja. Aku hanya belum mampu memberikannya pengertian tentang apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.”
“Aku juga sudah mendengarnya. Aku saja yang tidak tahu apa-apa bisa memahami niat baikmu. Masa dia tidak. Sudahlah, biarkan lelaki yang tidak bisa menerima kenyataan itu. Kau hanya membuang waktu mengurusnya.” Gensi kemudian membantu Soa berdiri.
“Berhentilah memaksakan keyakinanmu, Arandra.” Usai berhasil berdiri Soa meminta lebih lembut.
“SAMPAI KAPANPUN AKU TIDAK AKAN MEMPERCAYAIMU, SANCHO! KEMBALIKAN MOLEK PADAKU! KEMBALIKAAAANNN!!!”
Andel pun sampai geleng-geleng kepala melihat Arandra hanya berteriak menyangkal kebenaran yang Soa ungkapkan. Dua orang malaikat datang menghampiri Arandra. Mereka memegangi Arandra di tiap sisi lengannya.
“Ikutlah bersama kami Arandra. Hentikan amarahmu.” ucap salah satunya.
“LEPASKAN AKU!!!” Arandra meronta-ronta. “LEPAS!!! Aku belum selesai bicara dengannya!!!”
Dua malaikat itu sadar bahwa Arandra tidak dapat menerima ajakan dengan cara lembut. Maka dengan tegas akhirnya mereka pun menggunakan cara sedikit keras. Mereka mencengkeram lebih kuat di tiap sisi lengan Arandra. Walau pria itu terus saja meronta seperti cacing kepanasan, namun dua malaikat tetap jauh lebih sigap. Mereka menarik Arandra dengan paksa, lalu membawanya meluncur menuju langit bercahaya.
“Haruskah dia di paksa, Andel?” tanya Soa pada malaikat di dekatnya.
“Hatinya memiliki keinginan untuk pulang, Soa. Hanya saja, ia masih terganjal oleh rasa dendamnya,” ucap Andel seraya melihat Arandra yang ditarik ke langit semakin menjauh.
“Aku pun juga ingin pulang, Soa.” Tiba-tiba Gensi ikut menyambung. “Aku akan berangkat lebih dulu.”
“Gensi.” Soa memberi tatapan penuh perhatian.
“Soa. Aku senang, masih bisa diberikan kesempatan untuk berbicara padamu.” Gensi balas menatap adiknya penuh saksama. “Maafkan aku, Soa. Semasa kita hidup, aku selalu saja memperlakukanmu dengan cara yang tidak menyenangkan. Sebetulnya ini karena – aku iri padamu yang selalu saja menjadi nomor satu di mata Ayah. Seharusnya aku lebih bisa mengobati hatiku, sehingga kehidupan kita dulu bisa dipenuhi oleh lebih banyak tawa.”
Soa tersenyum lembut. Lalu perlahan meraih tangan Gensi. “Bukankah aku tak kalah menyebalkan? Maafkan aku yang selama ini tidak memikirkan perasaanmu, Gensi. Aku seharusnya lebih peka terhadap ketidakcocokan kita dulu. Aku lebih memilih menghakimimu dibanding mencari tahu apa sesungguhnya isi hatimu. Aku buta pada sebab. Jadi kumohon. Maafkan aku, Gensi.” Tanpa ragu Soa memeluk erat Gensi, dan tidak ada pula kebimbangan di hati Gensi untuk membalas hal yang sama. Mereka berpelukan hangat. Pelukan yang entah sudah berapa lama tidak mereka rasakan indahnya. Ingatan-ingatan masa kecil terlintas di kepala mereka, membawa mereka pada kenangan yang dipenuhi oleh tawa.
“Aku harus pergi sekarang,” ucap Gensi tak lama kemudian. Perlahan ia melepaskan pelukannya.
Soa mengangguk, tersenyum menatap kakaknya penuh. Seorang malaikat yang mendampingi Gensi muncul di sampingnya. Lalu setelah meraih tangan wanita itu, mereka pun terbang menyusul yang lainnya, hendak memasuki cahaya untuk kembali pada kampung halaman yang sesungguhnya.
“Aku menyayangimu, Gensi.”
“Lepaskan aku! Aku tidak mau ikut kalian sekarang! Ini kerajaanku. Beri aku kesempatan terlebih dahulu untuk menjadi raja di sini!”
Soa mendengar suara ramai yang lain. Ia melihat dari kejauhan, yang ternyata itu adalah suara amarah yang berasal dari Omer.