“Suster! Suster tolong kami! Ada korban kecelakaan di dalam mobil kami.” Seorang pemuda bertopi terlihat panik, setengah berlari ia memanggil petugas medis di instalasi gawat darurat. Panggilannya pun akhirnya membuat tiga orang petugas medis bergerak cepat. Mereka mengeluarkan brankar rumah sakit untuk membantu pemuda itu mengeluarkan seseorang dari dalam mobilnya.
“Dia baru saja tertimpa bangunan yang roboh,” ucap lelaki itu seraya melihat mereka bersiap mengeluarkan korban dari dalam mobil dengan sangat berhati-hati. Ternyata di dalam sedan kuno itu ada dua orang. Satunya si korban yang terluka parah tidak sadarkan diri, satunya lagi adalah pria paruh baya yang sedang memangku kepala si korban.
“Tuan Kalevi, Anda harus bertahan,” lirih pemuda itu. Ia sedikit membenahi topinya yang berantakan, lalu terlihatlah wajah itu yang ternyata adalah Daniel, pemuda yang pernah menjadi kepercayaan Soa dan Kalevi.
Sosok pria yang satunya lagi keluar dari dalam mobil usai korban tak lagi di pangkuannya. “Kau masuklah lebih dulu! Biar Ayah yang membawa mobil ini ke area parkir,” pria paruh baya itu memberi titah. Pria itu adalah Sam, ayah kandung dari Daniel yang juga pernah bekerja untuk keluarga Jorell dan menjadi orang kepercayaan Kalevi.
“Baik, Ayah.” Daniel lantas berlalu dari ayahnya, dan segera mengikuti rombongan brankar itu ke dalam. Dalam hati Daniel terus berdoa, agar Kalevi bisa terselamatkan.
Butuh waktu cukup lama untuk Daniel yang pada akhirnya ditemani pula oleh Sam, menunggu petugas medis menangani kondisi Kalevi di ruang darurat. Sesekali di antara mereka bahkan sampai mondar-mandir masih dengan raut muka yang sama cemas seperti sebelumnya.
“Bagaimana ini, Ayah? Aku takut terjadi apa-apa dengan Tuan Kalevi.”
“Banyak-banyaklah berdoa, Nak. Semoga Tuan Kalevi bisa diselamatkan.”
Daniel mengangguk menyetujui ucapan ayahnya. Memang saat itu hanya berdoa yang dapat mereka lakukan di tengah rasa kekhawatiran mereka menunggu penanganan Kalevi.
***
“Di mana aku?” pertanyaan pertama Kalevi keluar. Di kala mata bulatnya terbuka menemukan sebuah tempat.
“Di mana?” sekali lagi Kalevi bertanya. Oleh karena yang di dapatinya hanyalah sebuah padang rumput hijau yang asing, tidak berpenghuni, namun indah karena di penuhi bunga-bunga dan di hinggapi banyak kupu-kupu.
Kalevi berjalan masih terlihat kebingungan. Entah sudah berapa langkah di ambilnya untuk menemukan jawaban. Namun tak seorang pun dapat ia tanyakan.
“Apakah aku memang hanya sendiri di sini?” tanya Kalevi lugu.
“Tuan Besar...!”
Kalevi tersentak. Seseorang memanggil dengan sebutan yang sangat dekat di hatinya. Sebuah panggilan akrab yang ia ingat, di mana seorang wanita yang ia cintai juga pernah memanggilnya dengan sebutan seperti itu.