Soa tidak mengerti mengapa Andel malah bertanya balik padanya. Akan tetapi ia tetap mencoba mencari jawaban yang Andel minta, barang kali ia bisa menemukannya.
“Ayah? Kenapa Ayah?” Batin Soa bertanya-tanya. Agak lama ia berpikir. “Hm.. aku mencintai Ayah. Aku... membunuh Molek yang –“ Tiba-tiba saja Soa tersentak. Ia memandang penuh Andel.
“Kau menemukan jawabannya?” tanya Andel.
Soa seketika memasang muka sendu. “Mo – Molek mencintaiku? Benarkah itu?”
Andel pun mengangguk dengan lembut.
Teringat sebuah kalimat yang Soa dengar dari Molek pada saat wanita itu terbakar oleh amarahnya. ‘Cinta yang hanya setetes, jangan kau harapkan berubah seluas samudera. Tidak semua bisa kau dapatkan!’
“Molek mencintaimu, Sancho. Tetapi rasa kebenciannya jauh lebih besar dari rasa cintanya kepadamu.”
Air mata Soa pun kembali tumpah. Ia tertunduk lesu menyesali perbuatannya. “Andai hatiku saat itu lebih lembut, aku mungkin bisa membawa Molek lepas dari pengaruh keluargaku dengan cara yang lebih baik. Andai saat itu aku percaya bahwa Tuhan akan membuka jalan keluar untuk kami, aku pasti tidak perlu membunuhnya. Betapa bodohnya aku, Andel."
“Sudahlah, Soa. Semua sudah terjadi. Kau bahkan juga sudah menebus kematiannya dengan kematianmu. Sekarang saatnya kau mempertanggungjawabkan sisanya sekaligus memetik hasil dari kebaikan yang kau lakukan.”
“Kau benar. Yang Maha Kuasa itu adil. Aku memang pantas mendapatkan ini semua.”
“Sudah begitu panjang perjalananmu, Soa. Kau berhasil mengumpulkan potongan puzzle satu persatu sehingga kau mampu melihat gambaran yang utuh. Maka dari itu bertumbuhlah, jangan biarkan apa yang sudah kau dapati justru membuat dirimu terpuruk.”
Soa mengangkat wajahnya. Lalu ia mengangguk menunjukkan persetujuan.
“Kita sudah sampai,” seru Andel tak lama kemudian. Perahu mereka pun menepi, dan setelahnya Andel mengajak Soa turun untuk menyusuri sebuah jalan sedikit mendaki.
“Ikuti aku terus, Soa!” begitulah Andel memberi titah. Uniknya, Soa tak merasa lelah sama sekali sekalipun Andel mengajaknya berjalan cukup lama sejak mereka menuruni perahu tadi.
“Andel! Apa itu?” Soa tiba-tiba memanggil bertanya, oleh karena matanya tertarik pada sebuah pilar berwarna keemasan di ujung pandangnya.
“Ayo, Soa! Kita hampir sampai,” ujar Andel yang masih berjalan di depannya.
Walau perasaan Soa bingung ke mana Andel akan membawanya, namun tetap saja ia berjalan mengikuti. Hatinya percaya bahwa malaikat itu akan membawanya ke sebuah tempat di mana seharusnya ia ada.
“Kita sudah sampai,” ucap Andel tak lama kemudian. Setelah dua pilar itu kini tepat berada di hadapan mereka.
“Sampai?”
“Ya. Kita sudah sampai di depan pintu menuju Gedung Parlemen Langit.”
“Apa? Gedung Parlemen Langit?” Soa mengamati dua tiang besar itu. “Tidak ada apa pun yang kulihat. Di sini dan di sana sama saja, hanya sebuah rerumputan dan pepohonan.”
“Kau harus memasuki jarak di antara dua tiang ini dulu, Soa. Maka kau akan menemukan pemandangan yang berbeda di sana.”
“Oh! Begitu. Baiklah, ayo kita masuk.”
“Tunggu, Soa.” Baru saja Soa ingin mencoba melewati di antara dua tiang megah keemasan itu, Andel sudah buru-buru mencegahnya.
“Ada apa?” tanya Soa bingung.