Satu bulan kemudian.
Pagi itu, di sebuah telaga yang terletak di kawasan pegunungan. Sam mengajak Kalevi dan Daniel anak tunggalnya, untuk pergi memancing bersama.
Di tengah udara yang masih sejuk, oleh karena pepohonan hijau menghampar luas. Mereka duduk bersantai menunggu salah satu ikan tertipu untuk menyantap umpan yang mereka berikan. Terkecuali Daniel, ia memang ikut duduk menunggu bersama Kalevi dan ayahnya. Hanya saja ia terlihat tidak tertarik untuk ikut memancing. Sejak tadi ia hanya sibuk dengan permainan di ponselnya seraya bersantai pada kursi malas yang ia duduki di sebelah Kalevi.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Kalevi? Apa punggungmu masih suka terasa sakit?” begitulah Sam bertanya. Gaya bicaranya pada Kalevi kini sudah seperti seorang sahabat.
“Aku merasa punggungku semakin baik, Sam."
“Syukurlah jika begitu. Padahal baru saja aku ingin memberimu kaset film komedi untuk mengalihkan rasa sakitmu.”
Tawa Kalevi seketika langsung pecah. Ternyata Sam masih mengingat itu. Saat di mana dulu dia lebih senang menonton film komedi sendiri, untuk bisa mengalihkan rasa kesepiannya. Namun semenjak ia dekat dengan Soa, ia hampir tidak pernah menyaksikannya lagi.
“Jadi... apa kau sudah memiliki rencana untuk ke depannya?” tanya Sam usai mereka puas tertawa.
“Ya. Aku akan menjadi petani.”
“Hahahaha.” Kini giliran Daniel yang seketika tertawa keras. Kalevi dan Sam kompak langsung menengok ke arahnya. Mereka duga lelaki paling muda itu tidak hanya sibuk dengan permainan di ponselnya, melainkan juga sedang ikut mendengarkan obrolan mereka.
“Apa yang lucu, Daniel!?” tanya Kalevi yang duduk di antara Daniel dan Sam.
Sekejap Daniel langsung merapatkan mulutnya. “Ma – maaf, Paman.”
“Kau serius dengan ucapanmu, Kalevi?” belum sempat Kalevi mendengar jawaban Daniel, Sam sudah kembali menarik perhatiannya. Sam memang sengaja tidak ingin membuang waktu pada Daniel, yang ia yakin kalau anak itu hanya menganggap ucapan Kalevi sebagai lelucon.
“Ya. Lagi pula aku bisa apa? Setelah semua perusahaan yang dimiliki keluargaku bangkrut, saham kami anjlok, aku tidak banyak memiliki uang. Jadi kupikir tidak masalah jika aku berpindah ke desamu ini, membeli sedikit lahan di sini untukku memulai lembaran baru, yakni bertahan hidup di tempat yang jauh dari keramaian kota. Aku rasa itu bukan ide buruk.”
“Ilmu bisnis yang kau miliki sangat luas Kalevi. Kenapa kau tidak kembali saja ke kota dan melamar di perusahaan besar yang lain? Aku yakin mereka akan dengan senang hati menerimamu.”
“Perusahaan besar mana di Denzel yang tidak di bawah pengaruh keluargaku, Sam? Pemiliknya saja sudah banyak yang terkena gangguan jiwa karena perusahaan mereka kolaps.”
“Apa?!”
“Maaf Paman, ayahku tidak tertarik menonton siaran berita. Oleh karena itulah, dia selalu tertinggal informasi tentang apa yang terjadi di Denzel,” Daniel menyela. Ucapannya membuat Kalevi dan Sam tersadar bahwa dugaan mereka memang benar, Daniel sudah mendengar obrolan mereka sejak tadi, meski matanya sibuk dengan ponselnya.
“Memang apa yang terjadi di Denzel?” timpal Sam bingung.
“Sebentar Ayah,” Pinta Daniel. Lalu keluar dari permainan yang sedang ia mainkan, kemudian sedikit mengetik beberapa kata di kotak pencarian informasi lewat jalur internet. Kalevi yang paham langsung geleng-geleng tersenyum mendapati perilaku Daniel terhadap ayahnya.
“Ini Ayah. Silakan Ayah baca artikel ini,” ucap Daniel tak lama kemudian. Ia lalu mengoper ponsel pada ayahnya lewat tangan Kalevi.
Sam yang penasaran buru-buru menerima dan langsung membaca judul besar di artikel itu.
‘Tenaga Medis Mulai Kewalahan, Pasien Di Rumah Sakit Jiwa Melvin Terus Meningkat’
Baru saja membaca judulnya Sam sudah tersentak kaget.
Dengan tergesa-gesa Sam lalu membaca kelanjutannya. Berita itu mengatakan bahwa jumlah pasien di rumah sakit jiwa satu-satunya di Negara Denzel itu, yang terletak di pinggir kota Melvin mengalami peningkatan pesat selama satu bulan terakhir. Uniknya, rata-rata dari mereka adalah para pendiri perusahaan dan orang-orang yang berpengaruh lainnya. Hal ini bisa dipastikan karena dampak dari penurunan ekonomi di negara itu yang sangat drastis. Bahkan presiden pun sampai turun tangan menghadapi situasi panas yang terjadi di tengah penduduknya.
“Ba – bagaimana mungkin?”
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Ayah.”