Petaka Kala Itu

Jia Aviena
Chapter #4

Permusuhan

Di saat matahari baru terbit di pagi hari, gadis berkaos putih lengan panjang mengenakan kerudung bergo hitam sedang menggendong bayi, di sebuah ruangan penginapan para calon santri dan wali calon santri, ruang kelas di gedung Ar- Rasyid menjadi tempat penginapan dengan dipinggirkan meja dan kursi di dalamnya, lalu di gelar karpet besar. Itulah penginapan sementara saat tes calon santri berlangsung. Setelah resmi menjadi santri barulah para santri- santri dipindahkan ke gedung asrama, nantinya mereka mendapat kamar yang akan beranggotakan 5-6 orang dan ditambah 1 orang wali kamar dari kalangan kelas 12 sebagai senior mereka yang akan membantu para santri baru beradaptasi.

Gadis yang menggendong bayi itu bernama Kahfa, gadis kurus berkulit kuning langsat dan berwajah oval itu calon santri baru yang mendaftarkan diri atas keinginannya sendiri. Dia mendapat informasi mengenai pesantren modern At- Tin sebagai pesantren termegah di Indonesia, biasanya pesantren hanya memiliki luas satuan hektar sedangkan pesantren modern At- Tin luasnya telah mencapai seribu hektar lebih. Pesantren ini sangatlah independent mempunyai berbagai sector bidang yang dapat menunjang kebutuhan para civitasnya. Seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan pembangunanya sudah menggunakan alat- alat canggih milik sendiri. Namun bukan itu alasan utama Kahfa ingin sekolah di Pesantren ini, melainkan karena pesantren ini tempat almarhum ayahnya bekerja disini sebagai seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak ingin Kahfa sekolah disini, takutnya Kahfa akan terus teringat dengan mendiang ayahnya. Tapi Kahfa meyakinkan ibunya bahwa ini akan menjadi tempat terbaik untuk dia tumbuh, mengingat saat dia kecil ayahnya sering menceritakan tentang Pesantren Modern At-Tin.

Di tengah kesibukan Kahfa membantu Ibunya mengurus sang adik, dia tetap menyempatkan diri untuk belajar. Siang nanti ujian tes tulis akan di laksanankan. Ibunya yang telah selesai mandi meminta kembali bayi itu dari sang kakak. Tidak lupa Ibu Kahfa mengucapkan terima kasih kepada Kahfa karena sudah menjadi anak juga kakak yang baik untuk keluarga tanpa ayah ini.

Dulu Kahfa sangat pintar di sekolahnya, saat SD dia selalu menjadi juara 1 di kelasnya dan pernah mengikuti olimpiade sampai tingkat provinsi di pelajaran Matematika. Walaubegitu dia tidak lengah, dia memahami bahwa di jenjang berikutnya persaingan akan semakin ketat di tambah lagi dia mendaftar di sekolah yang siswanya datang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan adapula dari Malaysia dan Singapura, bisa di ibaratkan pesantren ini bukan lagi tingkat nasional tapi Asia Tenggara. Maka ambisinya untuk mempertahankan juara kelasnya semakin menggelora, disamping itu dia juga menginginkan kehidupan yang seimbang dunia dan akhirat. Menguasai ilmu dunia juga ilmu agama adalah tujuan terbesarnya memilih pesantren sebagai tempatnya menuntut ilmu.

Di tengah kefokusan Kahfa memahami pelajaran, pagi-pagi sekali keributan terjadi di dalam ruang penginapan dengan nomor ruangan 307. Terdapat beberapa keluarga yang menginap di sana. Kahfa berusaha untuk mengabaikan kebisingan itu, tidak bisa dimungkiri adiknya pun sering membuat seisi ruangan terganggu dengan tangisannya. Namun gadis yang juga calon santri itu bersikap keterlaluan kepada orang tuanya.

“Pokoknya Fildzah mau bawa HP, kalau ga di bolehin mendingan Fildzah kabur dari sini. Aku tau kok jalan keluar di sini yang keamanannya ga ketat,” bentak Fildzah kepada orang tuanya. Fildzah mendapat ruang penginapan 307 tempat yang sama dengan Kahfa. Tapi disana mereka belum saling mengenal.

Papa dan Mama Fildzah terlihat lemah di depan anaknya, Papanya yang tampak kurang tegas dengan penuh rasa khawatir hanya diam melihat anaknya memberontak. Sedanngkan Mama Fildzah berusaha membujuk secara lembut agar Fildzah mengurungkan niatnya membawa benda yang dilarang itu.

“Permisi, maaf sebelumnya ga bermaksud ikut campur. Tapi pesantren itu tempat suci. Karma berlaku disini kalau kamu bersikap buruk pasti akan ada hal buruk nantinya. Jadi mendingan, dengerin apa yang orang tua bilang. ” Kahfa sebenarnya tidak ingin ikut campur, empatinya mendorongnya untuk maju dan berbicara.

Fildzah menunduk dan memikirkan perkataan Kahfa, reaksinya seperti percaya dan membenarkan ucapan Kahfa. Mama Fildzah yang terlihat lembut malah meberikan reaksi yang tidak terduga terhadap Kahfa.

“Siapa kamu, bicara seperti itu kepada anak saya, dia tidak berperilaku buruk. Fildzah hanya berusaha mendapatkan haknya dari orang tua.” Kahfa terkejut melihat Mama Fildzah membela anaknya yang jelas-jelas salah menuntut untuk melanggar aturan pesantren.

Fildzah yang hampir saja terbujuk dengan perkataan Kahfa, tidak lagi menunduk. Fildzah mengangkat kepalanya dan menampakkan wajah seperti mendapat kemenangan di sebuah kompetisi debat. Kesombongan dan rasa percaya diri tinggi memenuhi diri Fildzah.

Lihat selengkapnya