Ratna menyeruput cangkir berisi kopi hitam tanpa gula, dia duduk di atas kasur sambil memangku laptopnya. Menengok ke tangan kirinya, melihat jam tangan yang dipakainya. Lalu matanya tertuju pada pintu, suami dan putrinya belum kunjung datang.
Tak lama kemudian tugas kantornya telah di selesaikan, Ratna pergi ke luar kamar, menengok sekelilingnya terlihat sepi dan hanya beberapa orang berlalu Lalang. Dengan keinginan menikmati udara segar dia pergi berjalan ke arah pintu keluar Wisma Al- Janah. Ratna merasakan udara yang sangat segar, pohon hijau mengelilingi gedung Wisma Al- Janah membuat udara menjadi sejuk dan asri.
Puluhan mobil terpakir rapi di depan Penginapan Wisma Al- Janah, melewati tempat parkir Ratna jalan tanpa tahu kemana dia akan pergi. Pesantren modern At- Tin sangatlah luas membuatnya tidak mudah mengingat jalan. Namun dia dapat mengetahui lokasi gedung- gedung dari atapnya yang terllihat jika menatap ke atas. Walaupun dikelilingi pohon- pohon besar gedung- gedung di sini masih lebih tinggi. Di jalan banyak sekali Ratna menemui orang-orang berlalu-lalang yang mengenakan gamis putih dan kemeja hitam putih. Dia memperhatikan dengan seksama di antara keramaian itu mencari putri dan suaminya. Ratna sebagai Bunda Ana sedikit resah hari ini, memikirkan putrinya yang ujian tes calon santri. Dia tau Ana anak yang pintar, namun Ana merupakan pemberontak handal. Mengingat bahwa Ana mendaftarkan diri sebagai santri bukan karena kehendaknya sendiri, pasti Ana akan mencari cara untuk membebaskan diri dari perintah orang tuanya.
Ratna tidak terlalu yakin bahwa suaminya Satria sudah benar-benar meyakinkan Ana untuk menjadi santri di Pesantren. Ana bisa saja berpura- pura setuju di depan Ayahnya tapi melakukan rencana diam-diam di belakang mereka sebagai orang tua. Ratna sedikit tak enak kepada keluarganya sudah beberapa bulan dia sangat sibuk dengan pekerjaannya dan jarang menyisihkan waktu kepada keluarga kecilnya itu. Bahkan Ratna tidak ikut membujuk Ana saat Satria ingin memasukan Ana ke Pesantren.
“Bunda…” Suara Ana terdengar ada di belakang Ratna. Ratna menengok dan melihat Ana dan Satria tersenyum kepadanya sambil melambaikan tangan. Ratna menghampiri mereka.
“Bunda, kamu habis dari mana?” Tanya Satria.
“Aku lagi cari udara segar tadi.”
Ana menggandeng bundanya dengan tangan kanan dan menggandeng ayahnya di tangan kiri. Wajah Ana terlihat sangat Bahagia di antara Satria dan Ratna. Satria mengelus kepala Ana, anaknya itu sangatlah sulit terbaca di mata Satria. Ratna menatap Satria, suaminya terlihat sangat mempercayai putrinya telah bekerja keras hari ini.
****
Bunga menunggu Matahari di selasar kamar 201, dia terus melihat ke bawah di jalan. Ada ketakutan di pikiran Bunga, karena membiarkan Matahari sendirian. Hari sudah mulai petang, cahaya terpancar jingga menyinari sekelilingnya. Alin yang ada didalam kamar menyalakan lampu, menandakan malam akan segera tiba. Bunga menjadi semakin khawatir dengan Matahari yang tak kunjung pulang.
Bunga memakai jaketnya, pergi dari kamar untuk mencari Matahari. Berjalan cepat menuruni tangga, Bunga terlihat sangat takut terjadi sesauatu kepada adiknya. Bunga sangat mengenal adiknya, Matahari tidak pernah cerita jika terjadi masalah dan selalu menutup diri kepada keluarganya. Bahkan pernah suatu hari di bangku sekolah dasar Matahari dikucilkan di kelas karena jarang berinteraksi dengan teman-teman kelasnya dan selalu menolak saat di ajak bermain. Hal itu membuat beberapa teman kelasnya jengkel dan menempelkan lem perekat ke bangku Matahari. Pulang sekolah Matahari menggunakan rok mukena, rok seragamnya sobek. Sedangkan Matahrari tidak mau meneceritakan yang terjadi kepada orang tuanya. Hingga orang tuanya datang ke sekolah menanyakan perihal Matahari ke wali kelasnya. Bunga yang kala itu sudah masuk pesantren menangis saat mendengar cerita itu di telepon.
Di lantai satu, Bunga melihat Matahari sedang duduk di anak tangga sambil bersandar ke tembok. Bunga menghampiri Matahari dan melihatnya sedang tertidur. Tangan Bunga langsung menghantam lengan Matahari.