Naya dan Ulya sedang mengobrol berdua di atas ranjang mereka yang bersebelahan. Di ruang tengah Alin duduk di lantai sambil memegang gunting ingin memotong kertas yang berisikan label nama-nama panitia di bagian kesehatan. Dan Maya sedang memotong sendiri rambutnya yang sudah pendek untuk di rapihkan. Sedangkan Dewi, dia pergi ke toko membeli beberapa keperluan yang dibutuhkannya. Di antara anggota kamar 201 yang sedang sibuk masing-masing, Matahari dan Bunga tertidur pulas di ranjang, semerbak angin masuk dari jendela kamar mengipasi Bunga dan Matahari di atas ranjang.
Kring… kring.. kring..
Alarm di samping Bunga berbunyi, menunjukan pukul 15.00 wib. Namun Bunga mengabaikan suara alarm tersebut, malah mematikan alarm lalu mengubah posisi tidurnya. Matahari yang sangat pulas tidak mendengar suara alarm. Naya dan Ulya yang sedang asyik mengobrol menyadari hal tersebut, Naya bangun dari rebahannya dan membangunkan Bunga dan Matahari.
“Bunga, bangun. Matahari bangun.” Naya membangunkan sambil mengoyangkan tubuh Matahari dan Bunga.
Sore ini Bunga dan Matahari harus datang ke gedung Ar- Rasyid untuk melihat pengumuman hasil tes tulis. Setelah itu akan ada akad perjanjian yang berisikan kesediaan santri untuk menjalankan sekolahnya selama 6 tahun di Pondok Pesantren Modern At- Tin, juga tanggung jawab pembayaran yang harus disetujui oleh wali santri.
Setelah melaksanakan sholat ashar Bunga dan Matahari bersiap, Bunga mengenakan rok abu-abu dan kemeja bergaris hitam putih dengan kerudung berwarna abu-abu menyelaraskan warna rok yang dikenakannya. Matahari memilih gamis berwarna hijau army dengan sedikit motif bunga di kantung bajunya di padukan dengan kerudung berwarna hitam yang sebenarnya sangat tidak padu untuk di pandang. Namun itu hal yang sangat wajar sekali dilakukan oleh calon santri yang memang belum tahu-menahu mengenai fashion di pondok pesantren.
****
Satria dan Ratna berjalan bersama dari penginapan wisma al-janah menuju gedung Ar- Rasyid, sepanjang jalan mereka membicarakan masa depan anak semata wayangnya Ana Cakrawala. Ratna mengatakan kekhawatirannya mengenai Ana yang memperlihatkan ketidaksungguhannya menjadi santri di Pondok Pesantren Modern At- Tin. Satria yang sangat percaya dengan Ana, berusaha membujuk Ratna untuk mempercayai putrinya.
“Dan kalau memang, nantinya Ana melakukan hal yang tidak sepatutnya melanggar aturan ponpes. Ayah yang akan menghukum langsung Ana dan menariknya kembai dari ponpes ini. Percayakan hal itu ke Ayah, Bun.” Satria berbicara dengan penuh karisma membuat Ratna tidak lagi dapat berkutik.
Ratna menggandeng lengan Satria, pasangan suami istri ini terlihat sangat harmonis. Sepanjang 12 tahun pernikahan mereka, tidak pernah satu kali pun Satria berkata kasar dan Ratna yang sibuk dengan pekerjaannya pun selalu mendapat pengertian dari Satria yang juga bekerja. Ana selalu mendapat perhatian yang dibutuhkan dari orang tuanya, bahkan bisa di katakana Satria dan Ratna telah mendidik Ana dengan sangat baik. Walaubegitu seorang anak tidak sepenuhnya terbentuk dari didikan orang tuanya, lingkungan sekitarnya juga turut serta mendorong pembentukan karakter. Apalagi Ana dulu belajar di Sekolah Dasar Al- Hambra, sekolah swasta yang jam sekolahnya lebih lama dari rata-rata sekolah pada umumnya. Dari pagi sampai sore Ana berada di sekolah tanpa pantauan orang tuanya. Satria dan Ratna hanya tahu Ana berada di sekolah namun tidak benar-benar mengetahui apa yang putrinya lakukan di sana.
Tanpa sadar Satria dan Ratna telah sampai di depan gedung Ar- Rasyid. Di lantai satu gedung itu ramai sekali orang-orang yang memadati sekitar mading. Satria langsung menyadari bahwa pengumuman kelulusan telah di tempel di papan pengumuman. Tidak ikut serta memenuhi papan pengumuman Satria dan Ratna malah duduk di anak tangga menunggu sampai orang- orang pergi setelah melihat hasil pengumuman kelulusan.
Ana, Fildzah dan seorang anak laki-laki sudah berada di lantai 1, bukan karena penasaran Ana tidak ingin orang tuanya melihatnya secara langsung. Dia ingin melihat lebih dulu dan mengatakan hasilnya kepada orang tuanya. Ana meyakini Sembilan puluh persen bahwa dia akan tertulis tidak lulus. Di lantai 1 Ana tidak melihat kedua orang tuanya.
“Ana, Aku ama Ari mau pergi ke kantin dulu yah.” Fildzah bersama anak laki-laki bernama Ari tidak memiliki minat pula dengan pengumuman kelulusan, mereka berdua pergi meninggalkan Ana sendiri.