Orientasi telah usai, hari ini para santri baru akan mulai sekolah di gedung Al- Imron sebagai gedung pembelajaran Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan kakak-kakak kelas mereka juga sudah kembali dari liburnya.
Kelas 7 tahun ini sebagai nagakatn baru mencapai 700 santri yang terdiri dari santriwan dan santriwati. Di pondok pesantren At- Tin gedung pembelajarn santri rijal dan nisa di satukan, namun terbelah menjadi dua bagian sisi utara untuk santri rijal dan sisi selatan untuk nisa.
Ruang kelas mulai dari lantai 2 karena di lantai 1 sebagai kantor-kantor guru sesuai dengan divisinya. Dan juga ada ruang laboratorium sains di sebalah selatan diujung samping tangga. Setiap lanatai terdapat 10 kelas 5 untuk santri rijal dan 5 untuk nisa. Sekat yang membatasi putra dan putri adalah selasar tengah yang luas, memang tidak ada pembatas khusus. Karena memang di pondok pesantren ini tidak terlalu ketat aturan membatasi rijal dan nisa. Mereka hanya akan berbaur dalam satu organisasi maupun komunitas sekolah, di luar itu barulah di anggap sebagai pelanggaran.
Kelas 7 masih memakai sergam hitam putih, mereka akan terus memakai baju itu di hari senin dan selasa. Nantinya jika seragam mereka sudah jadi yang sedang di kerjakan bagian garment pondok, barulah bisa memakai seragam khusus dari pondok.
Seragam sekolah untuk Tsanawiyah seperti yang di kenakan oleh para kakak kelas rijal setelan hijau dan nisa baju kurung hijau. Seragam itu sangatlah tebal dan licin, akan panas saat di pakai kemarau dan dingin saat musim hujan mengikuti cuaca yang ada.
Adapun gedung pembelajaran Al- Imron memiliki arsitektur yang sama dengan gedung Ar-Rasyid dilihat dari luar,dua gedung ini pun berhadapan dua jalan besar dan pepohonan sebagai jaraknya. Gedung Al- Imron didalamnya cukup berbeda dengan gedung Ar- Rasyid. Gedung Al- Imron memiliki ruangan khusus di lantai lima berupa sebuah aula olahraga badminton dan gedung kesenian berupa panggung megah untuk pergelaran acara budaya.
Lebih menariknya lagi gedung Al-imron memiliki basemant yang dijadikan tempat penginapan murah, satu kamarnya terdapat beberapa Kasur yang mana satu kamar bisa dihuni untuk dua keluarga, hanya Rp 10.000 per orang. Tidak diketahui alasannya, mengapa ada penginapan di bawah gedung pembelajaran. Namun muncul banyak isu tak sedap yang berveriasi tentang penginapan di basemant tersebut.
Di sebelah Barat gedung Al-Imron adalah lapangan pelatihan sepak bola yang dinamakan lapangan Walid bin Khalid. Tempatnya sangat luas dan memiliki lebih dari tiga lapangan. Di tengah lapangan Walid bin Khalid ini terdapat penangkal petir, hal itu memberikan rasa mana saat berada di lapang waktu hujan.
****
“Sur’ah… wahid, isnaini, tsalasa…” Suara pengurus asrama terdengar lantang sampai terdengar ke seluruh kamar yang ada di asrama Aisyah.
Santriwati yang masih ada di dalam asrama bergegas keluar berlarian, berdesak-desakan satu sama lain menuruni tangga. Sang pengurus yang bersuara lantang berdiri di depan asrama terus berteriak menyegerakan adik kelasnya untuk berangkat ke Masjid Al- Quraini. Pada pukul 04.00 WIB asrama harus sudah kosong dari santri.
Di asrama Aisyah kakak kelas 12 menjadi pengurusnya, semua hal yang berurusan dengan peraturan dan pelanggaran di urus oleh para senior. Sedangkan Ustadzah sebagai pengawas kegiatan.
Kegiatan pertama di subuh hari adalah sholat subuh di masjid. Ana yang biasanya baru bangun jam 05.30 dipaksa untuk bangun lebih awal. hal itu membuata Ana seringkali telat dan harus menerima hukuman juga di marahi kakak pengurus terus-menerus.
“Berhenti,.” Kakak Pengurus memberhentikan santriwati yang tersisa tepat setelah hitungan ke sepuluh.
Terhitung sepuluh orang dikatakan terlambat dan Ana selalu ada dalam beberapa hari terakhir.
“Kamu lagi, kamu lagi. Bosen saya ngeliat kamu,” ujar kakak pengurus, untuk ke lima kali dalam sepekan wajah Ana selalu dilihatnya.
Matahari menengok ke belakang, melihat siapa yang kakak pengurus itu maksud dan dilihatlah Ana yang berada di baris paling belakang. Sebelumnya Matahari tidak pernah telat, namun tadi malam di begadang mengerjakan tugas matematika yang sulit baginya.
“Oke, untuk sepuluh orang yang telat nanti ke kamar saya.” Kakak Pengurus akan memberikan hukuman setelah kegiatan di Masjid selesai.
“Sekarang lari sampai masjid, dalam hitungan sepuluh jangan sampai kalian terlihat di mata saya.” Tegas kakak pengurus.
Sepuluh orang itu segera berlari sekencang-kencangnya menuju masjid. Kehidupan di pondok pesantren memanglah cukup keras. Kedisiplinan sangat dijungjung tinggi dan senioritas pun cukup kuat, hingga membuat para daik kelas pasti takut jika harus berhadapan dengan kakak kelasnya.
Di tengah jalan Ana terjatuh, dia yang berada di paling belakang tertinggal dari yang lainnya. Matahri menengok ke belakang dan melihat Ana. Delapan yang lain masih berlari, Matahari berhenti dan menghampiri Ana. Posisi mereka sudah tidak terlihat oleh kakak pengurus.
“Ana kamu ga papa?” Matahari cukup canggung berbicara dengan Ana, dua bulan sudah setelah kejadian saat itu mereka tidak lagi saling berbicara.
“Aku ga papa, ayo kita lari lagi nanti kalo kakak pengurus liat hukuman kita bisa ditambah,” jawab Ana