Aku terpaksa jadi penambang emas liar, kehidupan keras yang tak pernah kuinginkan sebelumnya. Jujur, setelah lulus SMA dua tahun lalu sebenarnya aku ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.
Aku iri dengan Jali, anak haji Dullah si juragan sembako. Padahal si Jali ini terkenal bandel dan suka bolos waktu sekolah dulu. Tapi karena terlahir dari orang kaya, tentu saja nasib si Jali jauh lebih beruntung. Dengan duit orangtuanya yang berkarung-karung, Jali bisa menyandang status mahasiswa di salah satu universitas di pulau Jawa sana.
Aku juga kesal dengan si Mila. Gadis genit berotak kosong itu dengan gampangnya memakai jas almamater salah satu perguruan tinggi di kota. Sewaktu sekolah dulu, Mila ini hanya sibuk dengan pupur dan gincu.
Ketika ditanya oleh guru bahasa Inggris, jawabannya hanya yes dan no. Tapi lagi-lagi karena punya duit, otak kosong bukanlah penghalang bagi orang seperti Mila, anak salah satu pejabat di Kabupatenku.
Sedangkan aku, hanya bisa pasrah menyandang status sebagai orang miskin. Apesnya, udah miskin tetap saja tidak pernah dapat BLT dari kelurahan. Aku juga sudah malas mengurus tetek bengek administrasi yang ribet. Selalu saja kurang berkas, entah apa alasanya. Yang kutahu, BLT dan sebagainya hanya dibagikan bagi keluarga Lurah, keluarga pegawai kelurahan, juga keluarga pak RT dan kawan-kawannya yang tidak layak disebut miskin.
Lalu orang miskin sepertiku ini hanya bisa memaki dalam hati. Pasrah dengan keadaan dan menjalani pahitnya kemiskinan. Ngadu pada camat, dicuekin. Ngadu pada Bupati, tetap dicuekin. Ngadu pada Tuhan, eh...tetap dicuekin.
Mau gimana lagi, terkutuknya kemiskinan sepertinya belum mau lepas dari kehidupanku.
Sebenarnya kehidupanku pernah sedikit nyaman sewaktu Abah masih hidup. Walau tidak pernah berlebihan duit, setidaknya aku dan Ibu tidak pernah makan pakai garam. Tidak juga hanya makan daun singkong rebus selama berhari-hari. Walau setahun sekali, dulu aku juga bisa pakai baju baru sewaktu lebaran.
Kemudian Abah meninggal akibat tenggelam di sungai Barito. Jasadnya ditemukan tiga hari kemudian dengan kondisi yang sulit dikenali. Sungguh aneh, karena Abah orang yang jago berenang.
Yang kuingat, waktu itu selepas Isya Abah pamit pergi ke Lanting, rumah apung yang ada pinggiran sungai Barito. Kata Abah, beliau ingin bertemu dengan kawannya untuk membahas lokasi penambangan emas berikutnya. Namun hingga lewat tengah malam Abah tak juga kunjung balik. Hingga tersiar kabar keesokan paginya Abah terjatuh dan tenggelam di sungai.
Kata kawan-kawannya, malam itu Abah datang ke lanting sebenarnya bukan untuk membahas lokasi penambangan, tapi untuk pesta miras. Memang beberapa hari sebelumnya usaha Abah dan kawan-kawannya sebagai penambang emas liar dapat hasil yang lumayan. Sudah rahasia umum juga, orang-orang susah itu kalau dapat duit agak lebih sedikit gak jauh-jauh dari miras.
Karena dalam kondisi mabuk, Abah yang berusaha pulang malah terpeleset di titian batang kayu dan terseret arus sungai Barito yang deras.
Tiga hari kemudian, jasad Abah ditemukan tersangkut di Lanting yang ada di bagian hilir sungai.