Awal petaka ini dimulai sejak beberapa hari lalu.
Malam itu, kami melaju kencang menyusuri sungai Barito menuju arah hulu dengan tiga buah kelotok. Di malam buta, bising knalpot segera menderu-deru, bersahut-sahutan dengan suara binatang malam yang mengawasi kami dari balik hutan angker yang tumbuh lebat di kiri-kanan sungai.
Kami memang sengaja bergerak saat langit telah gelap, menghindari sergapan Polair yang semakin ganas menangkapi para penambang emas liar dalam beberapa bulan terakhir.
Hanyalah orang gila, putus asa dan ingin bunuh diri saja yang berani melintasi sungai Barito di malam hari, apalagi di musim kemarau sekarang ini. Batu-batu sungai yang tajam bisa muncul tiba-tiba dan merobek badan perahu, speed boat dan kelotok.
Bila terjatuh di sungai, orang paling pandai berenang sekali pun takkan lepas dari sergapan buaya, ikan tapah atau ular raksasa.
Belum lagi cerita tentang hantu banyu yang kerap membuat pusaran air agar perahu tenggelam, membuat bulu kuduk siapa pun merinding.
Dan memang, musim kemarau adalah saat paling baik buat menambang emas di bantaran sungai. Pasir-pasir sungai yang berisi butiran emas akan jauh lebih mudah digapai dibandingan saat musim air dalam.
Di hulu sana, hanya bermodal dulang saja penduduk kampung bisa mendapatkan emas 1 gram dalam sehari. Apalagi kami yang menggunakan mesin, tentu saja hasilnya lebih besar.
Kelompok kami berjumlah 10 orang, dipimpin kapteng Anang. Kapten Anang ini sudah lebih dari 20 tahun bekerja sebagai penambang emas liar. Kemampuannya dalam membaca jalur emas di bantaran sungai sangat kami andalkan.
Kapten Anang berada di kelotok tengah, bersamaku dan seorang lagi yang bernama Dayat. Dayat ini usianya hanya selisih dua tahun diatasku dan sudah punya dua anak. Berkaca mata, ceking, selalu pakai baju Hem. Selain Dayat juga ada mang Muksin si juru mudi.
Kelotok paling depan ada tiga orang, dan paling belakang juga ada tiga orang. Selain membawa mesin penyedot, pipa paralon serta alat tambang lainnya, kami juga membawa bekal untuk 10 hari kedepan.
Tiga buah kelotok trus beriringan, kadang melaju dan kadang melambat menyesuaikan alur sungai. Baru saja mau terlelap di dalam badan kelotok, tiba-tiba Dayat mengguncang badanku. Nafasnya memburu dan wajahnya pucat. Kacamata di hidungnya yang pesek melorot menyentuh bibir.
"Mid... Hamid... Bangun. Ada bahaya !"
Tiba-tiba saja ngantukku hilang begitu mendengar bahaya. Aku segera meraih Mandau yang ada di samping. Kulihat, wajah Dayat tegang dan matanya melotot dengan tubuh gemetaran.
"Bahaya !? Dimana ?"
"U-ular...." ucap Dayat menunjuk ke badan sungai.
Aku segera melihat kearah sorotan cahaya senter Dayat. Benar saja, seekor ular berwarna hitam tengah menyeberangi sungai. Cukup besar, mungkin panjangnya sekitar 3 meter.
"Ah...cuman ular nyebrang sungai. Bahaya apanya !? " kataku kesal.
"Tapi, Mid. Ular itu nyeberang dari sisi kanan. Kamu tahu kan artinya ?"
"Kau ini terlalu percaya takhayul." seruku sambil terus melirik ular yang tampak timbul tenggelam diseret arus.
Memang sudah jadi kepercayaan orang di daerahku, apabila ada ular menyeberang dari sisi kanan saat melakukan perjalanan baik darat maupun sungai, adalah pertanda buruk. Sebaliknya, bila dari sisi kiri adalah pertanda baik.
"Hamid, ada baiknya kita ikuti petuah orang tua jaman dulu. Sebaiknya kau bangunkan kapten dan minta putar balik saja." desak Dayat dengan penuh kecemasan.
"Kau ini ada-ada saja. Sudah sana, kembali berjaga di haluan. Nanti gantian."
"Ada apa ribut-ribut ?" Suara berat kapten Anang dari arah belakang mengangetkan kami. Perdebatan kecilku dengan Dayat berhenti seketika.
"A-anu kapten. Ada ular menyeberang dari arah kanan. Pertanda buruk, sebaiknya kita putar balik saja." cerocos Dayat bersemangat.
"Kau ini ada-ada saja. Sudah anak 2 masih percaya takhayul." Kapten Anang menghardik dan matanya melotot.
Dayat tampak kecewa, lalu merangkak hati-hati ke arah haluan tempatnya berjaga.
Di balik kemudi, mang Muksin terlihat tertawa melihat tingkah Dayat yang ketakutan. Diputarnya setir kemudi ke kiri dan ke kanan sehingga klotok pun bergoyang.
Duuk...!
"Aduh !" seru Dayat kesakitan. Ia kemudian menoleh ke belakang dan mengepalkan tinju ke arah mang Muksin.
"Ha...ha...ha..."