Kirana tertawa penuh kemenangan di atas punggung Badai. Bersama kuda hitam selegam jelaga itu, sang gadis masih terus merayap membelah pirau halimun hutan Satya Sekar. Ketegangan mencekam urat saraf sebelumnya jauh lebih mendidihkan darah mudanya daripada sekadar pacuan menantang maut bersama Sendayu atau Mayang di salah bantaran sungai terpencil yang menjadi pesanggarahan bagi sekawanan margasatwa liar, juga rumah bagi mereka, tempat yang kini serupa cangkang kelompang tanpa penghuni. Namun, sejarah akan tempat itu membalurkan bilur-bilur sembilu pada getas sukma Kirana. Semua ini demi sang ayah.
”Oh, Badai! Kau memang bukan Awan, si putra angin, tapi kau adalah si jawara ugut keling kebanggaanku!” semringah Kirana tumpah-ruah sambil memagut pipi ke leher kokoh kudanya, renjana. Ia seakan lupa daratan bahwa dirinya beserta dua saudari belianya telah menyelusup sukarela menuju lambung kanopi lebat bernama hutan Satya Sekar, si momok para pengelana.
Tak butuh waktu lama untuk menyadarinya. Saat leher Kirana bolak-balik menoleh ke segala penjuru mata angin mengikuti arah netranya, ia pun terperanjat dengan panorama yang menghadang di hadap dan buritannya.
Sekali lagi Badai meringkik keras ketika Kirana sekonyong-konyong menghentak tumit di daging kerempeng kuda itu.
Mata Kirana awas dengan tubuh menegak gelisah di atas pungung Badai yang sekarang tersesat haluan. Di mana kini mereka tersasar? Jalan setapak di belakang pun sudah tak tampak. Permadani beralas rupa tanah tandas oleh sebaran lumutlah yang terhampar. Sejauh mata memandang, hanya pohon-pohon laksana gergasi bertulang rusuk banir menjulang tinggi tak jelas puncaknya mengglasir rimba siap menjadi aral lintang sepanjang jalan.
Mungkin saja gergasi-gergasi itu kini hidup dan mengintip di salah satu ceruk pekat penyesap harapan. Derik pucuk dedaunan pun saling berbisik menertawakan, melesatkan cumbu rayu yang semakin menggiring mereka jauh ke perut hutan.
Tak ayal, sergapan penetak sukma merasuki resah yang hinggap di kepala Kirana. Matanya telah berdusta mengkhianati pikirannya yang kini telah terlena tipu daya perhelatan lancung anasir-anasir penghuni hutan. Kias panik terpampang jelas pada gurat-gurat kelu wajahnya, bahkan lidahnya tak mampu mengeluh barang sekata. Dalam temaram ia hanya dapat melihat akar laksana cakar elang dan batang tengkorak gerombolan gergasi di mana-mana. Sudah tak gamblang lagi mana barat mana timur, ufuk-ufuk seakan tak bernama di bawah redup yang menelan cahaya dan menggelar keyakinannya bahwa sebentar lagi mereka bakal diserbu oleh kegelapan pekat.
Badai mendengus, tak lagi berniat membawa Kirana berputar. Gadis bersurai mayang hitam legam bak malam bergelora itu turun sejenak dari punggung sang kuda. Bergegas ia merogoh sesuatu dari kain buntelan yang terikat di pelana Badai. Beberapa butir apel ranum segar kemudian ia berikan untuk kuda pembuluh sukmanya itu. Moncong badai segera meraupnya dengan lahap. Gelombang udara bergetar dari lubang hidungnya tatkala ia menikmati pemberian majikannya dengan mendengus senang. Setelah memastikan semuanya tandas, Kirana pun tak membuang waktu dan segera meminta Badai kembali melanjutkan perjalanan yang lebih pantas dikatakan sebagai usaha penyelamatan diri sekarang.
Dengan saksama dan memaksa, ia berbisik di sisi telinga Badai. ”Kau kuda yang tak takut akan kegelapan, bukan? Dengarlah Badai. Teruslah berlari, jangan pedulikan apa pun di sekelilingmu. Bila kita sudah keluar dari hutan ini, aku berjanji akan memberimu makan yang banyak dan membiarkan kau istirahat seharian penuh besok.”
Badai pun meringkik pelan seolah mengerti. Tapak kaki berladam milik sang kuda kembali menujak padang lumut di bawahnya setelah Kirana menarik tali kekangnya pelan. Mereka berdua melesat dengan kecepatan sedang menembus hutan.
Kirana yakin bahwa di tawang Tapak Siring, Suryakala belum bergulir sempurna, tapi malam yang gelap menyerbu cepat menyelimuti mereka di dalam sini. Kirana memeluk leher Badai erat dan merebahkan raga letihnya di sela surai-surai kasar berpasir kudanya. Ia memejamkan mata menepis segala pemandangan. Apa lacur, ia jadi teringat cerita Ayahanda tentang hutan Satya Sekar, tempat di mana orang-orang hilang di dalamnya. Tak ada satu pengelana pun yang berhasil menembus hutan ini untuk melihat sang Suryakala lagi dan kembali kepada keluarga mereka, begitulah kabarnya.
Konon, hutan ini menyimpan sebuah daya mistis yang mampu mengecoh para pemberani yang mencoba nekat mengarunginya atau memang sudah gila. Semumpuni apa pun pengalaman sang pengembara dengan bekal memadai yang dibawa, tak lantas bisa menjamin orang-orang ini berhasil menembus dinding misteri Satya Sekar. Banyak yang berpraduga bahwa orang-orang sial ini hanya berputar-putar di tempat yang sama sampai kelelahan dan kehabisan perbekalan. Mungkin saja ajal menjemput mereka dalam haus kelaparan atau disantap binatang buas, tak banyak yang bisa diketahui atau diungkapkan. Nasib orang-orang itu tersembunyi rapi, serapi misteri sang hutan yang menelan keberadaan mereka.
Namun, Kirana tak memakan mentah-mentah purbasangka itu. Di ketinggian awang masa daranya, bagi Kirana, seluas apapun dunia, sedalam apa pun jurang dan lembah, tak ada satu sudut pun yang tak terjamah oleh manusia. Ia memang masih belia kala pertama melangkah keluar dari rumah. Desas-desus santer hutan Satya Sekar hanyalah legenda di mata naifnya. Ia juga menganggap remah-remah tutur bicara orang-orang bahwa hutan Satya Sekar adalah kerajaan para makhluk bukan manusia alias dedemit. Kirana menganggap itu semua omong-kosong. Tentulah ini dongengan masa kanak-kanak dari sang Ayah untuk menakut-nakutinya saja, bukan?
Meskipun demikian, ini sungguh aneh .... Bulu kuduk Kirana bergidik merasakan sunyi senyap di sekitarnya. Hawa lembab merongrong segenap indra, sungguh tak nyaman. Dalam kegelapan pekat yang menghitamkan pandangan bahkan jari-jari di depan wajahnya pun tak kasatmata, rasa was-wasnyalah yang berbicara. Ia kebingungan bersama Badai yang acapkali oleng ke sana kemari tak jelas arah sedang berusaha menembus kepungan tonggak-tonggak raksasa yang semakin memadat rupanya. Kirana memutuskan untuk sepenuhnya mempercayakan arah pada insting Badai. Naluri kuda ini lebih dapat dipercaya sekarang.
Dalam keheningan dan kegelapan, cakrawala Kirana seolah terbuka nyalang, menerbitkan sebuncah sesal di hatinya yang justru singgah salah tempat di kala genting; bagaimana bila terjadi sesuatu dengan kedua adiknya? Bagaimana jikalau mereka bernasib sama seperti dirinya tersesat di tengah hutan? Apakah mereka ketakutan? Atau bagaimana jika terjadi hal yang terburuk; mereka diserang binatang buas misterius yang konon kabarnya memiliki rupa menyeramkan?
Kirana gelisah. Kirana tak ubahnya seperti orang yang kehilangan arah. Dalam hati, ia terus melambungkan harapan agar Mayang dan Larasati lebih beruntung dibandingkan dirinya. Semoga saja Awan, kuda putih cerdas yang terlatih itu dapat membawa mereka keluar selamat dari hutan sampai ke tempat yang aman. Semoga mereka telah berada di Kota Raja sekarang.
Kemelut batin yang berkecamuk itu lantas meluntur pudar kala Kirana jatuh tertidur berpagutan di lekuk curam leher dan punggung Badai.
***
Semburat lembayung mencakar langit di ufuk barat, bulan berlian tersipu di belahan selatan. Pada senja, geliat kehidupan mulai senyap. Kepakan sayap paksi pun seolah enggan. Sayup–sayup, hanya terdengar derap kaki dua ekor kuda perkasa membawa tiga orang gadis di punggung mereka.