Petala

Ravistara
Chapter #2

Awan dan Badai

Pekik kemarahan lelaki-lelaki kasar di belakang mereka lenyap membumbung tinggi ke angkasa bersama kepulan debu di bawah jejak kaki Awan yang melesat kencang. Kini mereka tak terkejar, lepas sepenuhnya dari cengkeraman para durjana. Mayang dan Larasati senyap menyesap udara. Alih-alih kelegaan, dada keduanya justru berlomba penuh sesak keharuan tatkala mengingat Kirana yang tertinggal di ambang marabahaya. 

Sangkala, cicit bersahutan di puncak pepohonan menyambut sang surya yang baru terbangun dari peraduan. Pagi beraroma perawan, embun mencair melukis alur pada kelopak-kelopak kecubung bermahkota nila; sejuk tanah, rerumputan, bunga, segala hal berbaur bercengkerama di udara.

Alangkah damai kiranya andai pagelaran elok alam ini tidak diusik sebuah pertengkaran. Asalnya dari sepetak taman di tepi batang air.

“Ke mana Ayah pergi? Katakan Kak Sendayu!”

Kirana seakan berhasrat mematahkan lengan ranum berkulit kuning langsat dalam cengkeramannya. Gelora terpancar dari matanya tak segan membakar segala prasangka. Sendayu membisu. Susah payah ia bebaskan diri dari sang adik lantas berlari jerih menuju dangau yang menjorok ke badan sungai mural hitam bak kalimaya. Sendayu bercermin ke dalamnya seakan ingin menceburkan diri lalu tenggelam dan tak muncul lagi di sana.

“Kak, kenapa kau diam saja?! Jawab pertanyaan kami!” Karena kini ia telah dikepung rapat dari belakang, tak ada ruang untuk lari. Untuk ke sekian kalinya pula Sendayu mengusir udara demi menahan riak gelombang yang memaku rusuk. Ia tatap satu demi satu wajah belia di hadapannya yang kini tampak garang. Sungguh ia tak tahan lagi, oh Ayah .... Kesabarannya habis sudah!

“Kak Sendayu, kau memang sangat keras kepala! Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dari kami?!” Kirana membentak meluapkan seluruh sesal yang terkubur dalam dirinya. Suaranya bergetar penuh amarah, semilir angin pun enggan berbisik menyela.

Mata Sendayu terpaku nanar pada sosok sang adik. Mulutnya juga, seakan dijahit oleh benang. Dadanya perih apalagi. Tak sepantasnya Kirana marah terhadapnya karena perasaannyalah yang paling terluka saat ini. Perasaan ditinggalkan juga dikhianati. Ia menghimpun kuasa untuk menentang berani sorot tajam bak tusukan mata pedang itu.

“Aku juga tak tahu ke mana Ayah pergi!” desis Sendayu dengan kepedihan yang teredam risau angin.

“Apa …?”

Kirana membelalak tak percaya dan napasnya bak diburu sangkala. Bukan jawaban itu yang ia harapkan, tapi mata Sendayu seolah tak berdusta. Maniknya yang legam tegas berbicara. Agaknya, sebesar apapun usahanya untuk membuat kakaknya itu mengaku, percuma.

“Tidak! Bagaimana mungkin Ayah pergi begitu saja tanpa pesan pada kita? Kau pasti mengetahui sesuatu, Kak! Tolong katakan itu!” Larasati menjerit kesal. Si bungsu yang paling manja pada sang ayahanda akhirnya meledak juga tangisnya. “Ya. Kau pasti berbohong, Kak Sendayu! Kau sama saja dengan Ayah, membohongi kami semua—”

Sendayu meraih Larasati ke dalam dekapannya, lalu ikut menangis bersama. ”Larasati, jangan berpikiran seperti itu ....”

”Tapi kaulah yang terakhir bersama Ayah sebelum beliau pergi!!” Kesedihan Larasati seakan menggema di gendang telinga Sendayu.

”Aku tidak berbohong, aku sungguh tidak tahu ke mana dan untuk apa Ayah pergi! Aku sama tidak tahunya dengan kalian. Tolong, percayalah padaku.” Si sulung memohon. Ia tak mengharap sewastu pengertian, senoktah pun memadai untuk memupuk kembali ikatan kepercayaan antara mereka.

”Tapi kau tahu Ayah akan pergi dan tidak mencegahnya! Iya, ’kan?” Larasati menampik lengan kakaknya yang kini melingkari tubuhnya.

Berat hati, Sendayu melepaskan pelukannya. Mustahil rasanya sekarang untuk mengubah arah haluan ketiga saudarinya. Ia telah disalah pahami. Ia tak sanggup lagi dirundung perasaan tersudutkan.

Sendayu menerobos mereka dan berlari kencang ke satu arah. Kebun apel. Telinganya tuli akan panggilan di balik punggungnya yang sayup-sayup menghilang.

Sendayu sungguh menyesali kenapa harus ia yang menanggung peristiwa pelik. Dari mana ia harus mulai mengurai benang kusut ini?

Ia tersandung sebongkah akar yang menggunduk seakan mengejek, lalu jatuh bersimpuh. Hanya sedu sedan terdengar setelahnya, berguncang bersama bahu mungilnya.

”Serahkan kuda kalian! Lebih bijak jika kalian tidak melawan dan kami akan mengampuni kalian.”

Ketiga dara belia segera beroleh balasan. Kini, merekalah yang dikepung dari segenap penjuru oleh kawanan lelaki berwajah garang. Seorang yang paling garang, mungkin sang pemimpin, menghunus tombak panjangnya ke wajah mereka. Tombak itu sepertinya sudah sering memakan korban, terlihat dari bercak darah bernoda di sana-sini di matanya, juga batang kayunya. 

Lihat selengkapnya