”Kak, kita ada di mana? Mana kak Kirana?” Di balik punggung Mayang, Larasati bersenandika ketakutan. Embusan bayu sang malam memaksa lengannya yang semula melekat pada pinggang sang kakak, terurai dan berkelindan memagut dada sendiri. Sementara, wajah letihnya bergelenyar oleh rasa cemas.
”Hm …!” lenguh Mayang menyuruh sang adik diam. Keawasan gadis itu tak lagi purna sebab terkantuk-kantuk. Namun, ia sadar bahwa ada seorang dara belia yang sedang terpekur meratap di belakang.
”Jangan menangis terus, Dik. Badanku sudah layu semua rasanya. Nanti saja besok kita cari Kak Kirana. Tidurlah, Cah Ayu ....” Mayang menarik kembali lengan Larasati agar sang adik bersedia memberinya sedikit kehangatan dan berhenti menggerundel. Ia telah menyerah dan ingin memejamkan mata dengan tenang sekarang. Mayang menguap lebar dilanda kantuk.
”Kak, bagaimana kalau di sini ada harimau?” gumam Larasati dengan cicit samar. Mayang mendengkus setengah kesal. ”Tidak mungkin, tidak ada harimau di sini. Tidurlah …!” Mayang melindur setengah tak sadar. Tak lama kemudian, ia betul-betul terdampar ke alam maya, meninggalkan Larasati yang tak punya pilihan selain menekuk tubuh rapat pada punggung sang kakak, lalu menyusul Mayang yang terlelap pulas. Terbungkuk tubuh keduanya di atas punggung kuda. Pada satu titik, Mayang rebah bagai rumput tercerabut, berikut Larasati di belakang sang kakak.
Berjam-jam kemudian, mereka terombang-ambing tak tentu arah hingga akhirnya berhasil juga menembus kegelapan hutan Satya Sekar. Alangkah beruntung kiranya mereka. Langkah Awan tiba di sebuah tanah lapang di pelipir sungai berbatu kerakal. Setelah dibutakan oleh pekat gergasi, kakak adik itu terbangun akibat silau. Nilam bulan berlian menjelang puncak purnama sungguh benderang, menghantarkan gelombang kehangatan niskala. Kedua dara itu bergegas menyelusur turun dari punggung Awan dan mencium rumput beraroma embun dengan bahagia seraya menghayati nikmatnya melentingkan punggung. Keduanya telah lama tertekuk bak udang menunggang kuda seharian.
Hal pertama yang mereka lakukan adalah memanjakan usus-usus mereka yang sudah dicengkeram oleh belitan rasa lapar. Tak lupa pula, sekantung penuh apel untuk kuda tunggangan. Setelah perut berisi penuh asinan ikan dan pulen ketan, tubuh mereka ikut bergelung kelelahan di sebelah Awan yang lebih dulu mereguk kedamaian.
***
Sementara di pedalaman rimba, ada nasib seseorang yang tidak seberuntung mereka. Denyar Suryakala melarik sekali menyapa kedua netra Kirana. Lamat-lamat, kelopak mata gadis itu terbuka akibat gemuruh perasaan aneh tatkala pandangannya menyapu sekitar dan berjumpa dunia asing. Bulan permata tak lagi sudi menampakkan diri, kalah oleh garang sang Raja Siang. Tubuhnya terjengkit kala nyeri mencacah mengelantang segenap persendian tulang. Bahunya serasa turut remuk redam.
”Apa aku masih di hutan Satya Sekar?” keluhnya setengah mengigau. Jarinya melejit ke sudut kening lalu memijit-mijit pelipis musabab dera yang berpusing dalam kepala.
”Badai?!”
Kirana tersentak teringat pada sang kuda, lalu sekejap bernapas lega setelah menemukan Badai berada tak jauh dari sisinya. Ia sama sekali hilang akal pangkal ihwal mengapa bisa terbaring membujur di atas tanah. Mungkinkah ia tertidur begitu pulasnya sampai tidak sadar telah merosot jatuh dari pelana? Kirana bangkit lantas mendapati kemben beserta rambutnya yang tergerai telah dirubung ampas dedaunan kering. Begitu pula permukaan kulitnya yang telanjang kini tak mulus lagi, berdempul remahan tanah gembur cokelat berbau lumpur. Rupanya ia tertidur berselimutkan hangat humus, pantas saja lelap semalam suntuk.
Mata awas sempurnanya kini menyapu sekeliling nyalang, sementara daun terkibas ke sana kemari oleh telengan kepala liar. Berguguran rontok dari rambutnya yang kusut masai. Ah, ia memang masih berada di hutan Satya Sekar agaknya. Namun, pohon-pohon raksasa di sini jarang-jarang sehingga sinar Suryakala masih dapat menembus sampai ke dasar untuk menebar pendar ke segenap pelosok hutan. Tanah di bawah bokongnya tak lagi licin berlumut, tetapi beranak rumput dengan semak belukar menutupi permukaan yang mulai memadat. Seolah tak peduli, Badai sedang asyik memamah rumput di mulutnya yang menggilas penuh selera.
Kirana meregangkan otot-otot tubuh sebentar, kemudian menghampiri kuda hitam gagah itu. Ia acak-acak surai kasar di leher Badai dengan gemas sehingga semakin liar akibat permainan jemarinya.
”Sudah kubilang, kau jangan berhenti sebelum keluar dari hutan, tapi kau malah membiarkanku tertidur di tempat ini. Apa aku harus memberimu makan semua apel yang aku punya agar patuh dan mendengar? Dasar kuda nakal!”
Badai tidak memedulikan ocehan Kirana dan terus saja mengunyah. Matanya mengerjap jenaka pertanda sangat menikmati kesibukan yang terjadi di dalam mulutnya. Kirana semakin dongkol dengan ulah kudanya yang seolah sedang mencemooh majikannya.
”Sudah, berhentilah makan! Bawa aku sekarang pergi dari hutan ini!” perintah sang empunya gusar akibat sebah di perutnya yang semakin merintih meminta dituntaskan hajatnya.