Di hadapan Datu Harung berdiri seorang dara seelok bidadari kayangan. Andai makhluk adiluhung itu menitis ke dunia manusia, seumpama gadis inilah kiranya.
Matanya seelok sendang nirwana, kelam mengilap bak mutu manikam kalimaya. Wajahnya secerah purnama dibingkai oleh rambut ikal mayang yang rumpun helainya jatuh laksana liukan busur dengan warna hitam sepekat malam, memantulkan sinar keemasan suryakala. Lekuk alis, mata, hidung, dan bibir bagai perpaduan lukisan mahakarya.
Datu Harung makin tertegun tatkala memperhatikan rupa pakaian yang membalut tubuh sang gadis berperawakan semampai. Belum pernah rasanya ia melihat jenis pakaian itu sebelumnya. Kemben berbahan tenun dengan corak merak dan kembang berjulai. Kedua bahu sang gadis yang seputih mutiara dibiarkan telanjang ibarat menyingkap rahasia keremajaan nan mekar sempurna. Sementara di balik sarung berlurik sebatas tempurung lutut, menyembul sepasang betis jenjang seolah tak layak menapak ke bumi. Penampilan gadis itu teramat kentara untuk kadar seorang manusia jelata.
Tangan gadis itu terulur ke depan menjangkau ruang di antara mereka seolah ingin mengucapkan sesuatu, tetapi urung karena tubuhnya lantas ambruk ke tanah.
***
”Kirana, jangan pernah selangkah pun kau pergi dari tanah ini. Dunia di luar sana amatlah beringas dan berbahaya. Ayahanda takut kau akan celaka.”
”Berjanjilah, Kirana! Camkan pesan ini baik-baik ....”
Kilasan-kilasan masa lalu itu berputar kembali dalam benak Kirana. Ia terkenang akan pesan-pesan sang ayahanda tatkala dirinya kanak-kanak dulu. Selongsong nasihat itu terngiang berulang kali seakan sedang mencelanya sekarang. Alam bawah sadar Kirana berontak berusaha lepas dari rongrongan. Ingin sekali ia terjaga, tetapi kelopak matanya enggan terbuka. Seluruh tubuhnya pun layuh tiada daya. Sementara, akal pikirannya masih menggeliat menjaring sukma.
Cukup lama, akhirnya berhasil juga Kirana membuka mata dan mendapati dirinya sedang terbaring di sebuah alas pembaringan sekeras papan. Kelambu jingga kunyit menaungi pandangannya. Dalam sekali lenguhan napas, ia menggerakkan leher ke samping berusaha mencari seberkas petunjuk dari temaram ruangan di sekitar. Samar-samar, ia mendengar percakapan beberapa orang lelaki entah dari mana asalnya.
”Apa yang akan kita lakukan padanya?”
”Kenapa kau melindunginya, Datu Harung?”
Runcing nian isi pembicaraan orang-orang di luar yang tampaknya berujung sawala. Kirana hanya bisa menangkap sedikit karena kepalanya masih terasa berpusing.
”Kalian tenanglah dulu, hal itu biar Datu Arai nanti yang memutuskan. Dia hanyalah gadis biasa, jangan terburu-buru.”
”Datu, berani sekali kau melanggar adat. Lupakah Datu dengan Sumpah Petala?”
”Aku yang akan bertanggung jawab!”
Dengan tatapan yang masih nanar, mata Kirana menumbuk pintu di seberang amben yang lantas terbuka. Si pria tua yang ia jumpai di tepi danau masuk ke dalam kamar. Orang-orang di luar tadi sudah pergi diiringi bunyi langkah kaki berderit pada lantai kayu. Pria itu tampak lega ketika melihat dirinya telah duduk di atas pembaringan. Segera saja suaranya lantang memanggil seseorang. ”Ambilkan makanan, Massaya, gadis ini sudah sadar!”
Tak sampai sejurus, seorang gadis membawa nampan berisi makanan dan minuman ke hadapannya. Aroma ikan bakar yang lezat segera menusuk hidung begitu seorang wanita muda masuk dan menaruh nampan di samping Kirana. Uap mengepul dari nasi dan meninggalkan jejak harum pandan menggoda. Perutnya bergolak hebat dan Kirana langsung bangkit dari pembaringan, seakan lupa dengan tubuhnya yang masih lemas. Matanya memandang sajian itu dengan berbinar juga air liur.
”Makanlah, Nak. Jangan sungkan. Anggap saja ini rumahmu sendiri.”
Belum sempurna tutur pria itu, Kirana langsung menyambar piring nasi dengan tangan gemetaran dan memasukkan sesuap besar ke dalam mulut, lalu mengutil daging ikan dengan jari-jarinya. Cekatan memisahkannya dari tulang. Kirana mengunyah penuh hasrat hingga bersuara. Sesaat kemudian, gadis itu tersadar dan terpaku menatap sang penolong dengan malu-malu. Mereka hanya tersenyum penuh mafhum.
”Tak apa, Nak. Kau pasti sangat kelaparan,” ujar si pria tua. Sementara, si wanita muda berdiri agak di belakang dengan tatapan santun. Sungguh bertolak belakang dengan perangainya selaku tamu di rumah mereka.
”Makanlah, kami akan meninggalkanmu sebentar. Kalau ada yang kaubutuhkan lagi, katakan saja.” Mereka kemudian meninggalkan Kirana sendiri untuk memberi gadis itu kesempatan menikmati makanan dengan leluasa.
Kirana tersipu. Ia bahkan belum mengucapkan rasa terima kasih. Rasa lapar membuatnya sungguh tidak sopan. Meskipun demikian, toh Kirana tetap melanjutkan makannya dengan lahap dan mengaut beberapa piring nasi lagi.
Setelah perutnya terasa sangat kenyang oleh suguhan enak, tuan rumah mempersilakan gadis itu untuk berbenah diri di danau dekat pondok tinggal mereka. Ia dipinjami sebuah pakaian oleh Massaya, putri sang tuan rumah. Namun, ia menolak ketika Massaya bermaksud untuk menggelung rambutnya karena Kirana lebih senang membiarkan ikal mayang itu tergerai di sekitar wajah. Kirana sempat menangkap tatapan aneh Massaya yang seakan tidak pernah lepas dari wajahnya. Kirana belum pernah bergaul dengan gadis-gadis selain saudarinya. Jadi, ia tidak punya firasat bahwa tatapan itu menyiratkan sebuah rasa iri terpendam akan kecantikannya.
Suryakala mulai bergulir ke pulau kecil di tengah danau, tatkala Kirana sedang termenung di pelipir tak jauh dari pekarangan rumah Datu Harung. Pikirannya yang sempat berkelana ke suatu tempat kembali berlabuh ketika ia mendengar seseorang menyapa. Datu Harung.
”Nama saya Datu Harung.” Pria itu memperkenalkan diri. ”Siapa namamu, Nak? Dan dari mana asalmu?”
Kirana mengalihkannya pandangannya dari danau ke pria itu. ”Petala Kirana,” jawabnya. ”Saya dari daerah perbatasan. Tapak Siring.”
”Petala Kirana?” Datu Pasu tertegun.
”Ayah saya yang memberi nama itu untuk mengenang kejayaan sebuah kerajaan kuno bernama Petala.” Gadis itu tersenyum menjelaskan. Ia telah mengira namanya pasti akan mengundang pertanyaan. Namun, Kirana tidak menyadari denyar aneh dalam mata Datu Harung kala itu.