Aku tidak akan bisa keluar dari sini!
Beragam kengerian terlintas di benak Kirana ketika Datu Harung mencoba membetik kesadaran gadis itu dari balik pintu.
”Kirana, kau tak apa-apa?”
Kirana bergeming, tersandar ke dinding. Rasa sebah menyesaki dadanya sehingga tak sanggup bicara. Pria di luar sana seolah mengerti lantas membiarkannya karena gadis itu sedang butuh waktu untuk mencerna segalanya ....
”Empu, kenapa namaku aneh dan berbeda?” Pertanyaan itu terngiang lagi di kepalanya. Jawaban sang ayahanda kala itu bagai senda gurau belaka.
”Karena kau adalah permata yang tersembunyi, Cah Ayu. Empu takut dunia akan mengambilmu. Sebab itulah, Empu memberimu nama Petala.”
”Tapi … Ibunda pernah bercerita bahwa Petala itu nama kerajaan yang ada di Hutan Satya Sekar.” Kirana masih bisa mengenang dengan jelas gurat kekalutan di wajah berglasir milik ayahanda demi mendengar penuturan yang keluar dari mulutnya. Pria tampan penuh pancaran wicaksana itu lantas bersimpuh di depan Kirana cilik.
”Cah Ayu, kau lihat dinding gelap di sebelah utara sana?” Sang ayahanda menunjuk ke suatu tempat yang tampak menghitam di bawah lembayung senja. Kirana mengangguk.
”Itu adalah Hutan Satya Sekar. Jangan pernah ke sana, Anakku. Berjanjilah pada Empu.”
”Kenapa, Empu?”
”Kadangkala, ada hal di dunia ini yang tak pantas kau cari jawabannya, Kirana. Cukup percaya, tak usah bertanya.”
Kirana seakan dilemparkan ke dalam labirin waktu serta dihadapkan kembali pada cermin kesalahan dirinya ketika ia bertandang ke sebuah tempat yang dijanjikan oleh Datu Harung.
”Kalian akan membunuh orang luar yang datang ke sini?!” pekik Kirana tercekat. ”Bagaimana dengan orang-orang yang hilang. Kalian jugakah yang melenyapkan mereka?”
”Jika terpaksa, kami akan melakukannya, Nak.” Datu Harung berusaha menjelaskan.
”Datu Harung!”
Datu Arai memperingatkan pria itu dengan keras, seolah melarang Datu Harung membicarakan sesuatu hal yang keramat. Rahasia berumur ratusan tahun.
”Ada sesuatu yang ingin kami tunjukkan padamu, Nak.”
Sebagai gantinya, Datu Arai memberi isyarat pada Kirana untuk mengikutinya dan Danum Marsiya.
Kirana diajak ke sebuah ruangan dengan dua daun pintu besar tertutup rapat. Ukiran delapan penjuru mata angin di tengahnya terbelah tatkala pintu dibuka. Danum Marsiya masuk lebih dulu membawa cawan pelita damar, lalu menyalakan satu demi satu cawan yang tersebar pada dinding. Ruangan kini diterangi oleh tarian cahaya yang memantulkan bayangan ketiga orang tersebut.
Keadaannya bersih, mengesankan bahwa ruangan itu terawat dengan baik. Lemari-lemari tinggi penuh ukiran paksi dan pakis berkelindan berada di salah satu sudut. Datu Arai kemudian mendekati sebuah peti besar yang membujur di tengah ruangan, lalu membuka palang kuncinya sehingga berderit. Pria itu mengeluarkan sebuah pusaka berkilauan dari dalamnya. Sebuah mahkota pucuk rebung dari emas bertatah mutu manikam tujuh warna. Kirana tanpa sadar terpesona dan meminta restu untuk mengamatinya lebih saksama. Alas pucuk rebungnya dipenuhi oleh sulur yang begitu kuno, indah, dan rumit.
”Apakah itu sebuah mahkota raja?” tanya Kirana takjub. Datu Arai tersenyum. Senyum bernilai berlian penuh kebanggaan.
”Ini adalah pusaka Kerajaan Petala yang telah diwariskan secara turun-temurun kepada kami, pewaris sah tanah ini. Kerajaan Petala sungguh ada dan berjaya di masa lalu. Bukan pecahan kerajaan yang kini kaukenal sebagai Panjaran dan Bandang Saka.”
”Tapi—” Kata-kata Kirana tenggelam dalam desau gundah gulana. ”Bagaimana mungkin selama ini kami tidak mengetahuinya?”
”Ratusan tahun lalu, rahasia kami terkubur di dalam hutan ini setelah orang-orang dari seberang segara datang menaklukkan tanah Petala.” Kini Danum Marsiya yang berbicara. Matanya menatap Kirana dalam, mencoba mengenang masa lalu yang hanya ia dengar dari mulut para tetua.
”Maksud Anda... kami adalah penjajah yang menduduki tanah kalian?” Kirana seakan dipalu godam tatkala memahami inti dari cerita ini. Dia memandangi wajah pasangan suami istri itu untuk meminta sebuah penegasan, tetapi keduaya diam saja karena misteri sejarah itu terang benderang sekarang.
”Kenapa kalian menceritakan semua ini pada saya?” keluh Kirana nelangsa. Rongga dadanya dipenuhi oleh rasa sesak. Ia merasa sedang dihakimi.
”Saya hanya gadis biasa dan tidak bertanggungjawab untuk kesalahan yang telah dilakukan oleh nenek-moyang saya pada kalian!” Ia murka.
”Nak, janganlah kau menganggap kami berpikir sepicik itu,” tukas Datu Arai. ”Meskipun kedatanganmu ke tempat ini tidak diharapkan, tapi ini pastilah sudah takdir.”
”Kalian tetap akan membunuh saya, bukan?” Kirana terdengar putus asa.
”Tidak,jika kau mau berjanji satu hal. Jangan pernah keluar dari tempat ini!”
Syarat yang diajukan oleh Datu Arai bagai sambaran petir. Tak mungkin ia tinggal di tempat ini selamanya. Kirana ingin mencari sang ayahanda ke Kotaraja dan harus segera bertemu dengan adik-adiknya.
”Kenapa kalian mengampuni saya?”
”Bukan kami, tapi Petala.”
”Saya tidak mengerti, Empu.” Akhirnya Kirana memutuskan untuk memanggil pria ini dengan panggilan yang biasanya ia tujukan pada sang ayahanda.
”Adakalanya sesuatu hal yang tak kau mengerti dalam hidup ini tak perlu dicari jawabannya, Nak. Semakin kaucari, maka kau akan makin tersesat. Bila kau ingin tetap selamat, tinggallah di sini dan jangan pernah masuk ke dalam Rimba Hitam lagi karena keberuntungan tidak datang dua kali.” Datu Arai berujar penuh misteri. Kirana pun tidak bertanya apa-apa lagi.
Akhirnya, malam itu Datu Arai mengizinkan Kirana tinggal di tempat Datu Harung dan lelaki itu ditunjuk untuk mengampunya. Sepanjang perjalanan pulang, Kirana tidak berbicara apa pun. Ia hanya memandang cowong jalan yang temaram oleh rembulan malam. Sementara, Datu Harung yang berjalan bersisian sambil memegangi obor memperhatikan gadis itu agak gelisah.