Dua dara belia tampak canggung di tengah hiruk-pikuk keramaian pasar. Seekor kuda jantan putih gagah melangkah patuh di sisi mereka. Mereka baru saja pulih dari peristiwa menegangkan yang terjadi kemarin. Suasana pasar ramai sekali. Berulang-kali Mayang dan Larasati meneguk ludah ketika melewati penjaja penganan dan kudapan. Perut mereka berkeroncongan.
”Aku lapar sekali. Apa kau juga, Larasati? Marilah kita makan dulu di kedai sana!” ajak Mayang sambil menarik tangan adiknya. Rasa laparnya sudah tak tertahankan lagi.
”Apakah Kak Mayang punya uang?” Larasati memegangi perutnya yang melilit dengan kening berkerut.
”Tentu saja,” tandas Mayang semringah. ”Kak Sendayu membagi hasil menjual kue-kue apel padaku. Kau tidak usah khawatir, cukup untuk biaya perjalanan kita ke Kotaraja.”
”Ada apalagi? Apa, sih, yang kaupikirkan?” gerutu Mayang tak sabar ketika Larasati malah diam melamun. Larasati menjawab dengan muram.
”Tapi Kak Kirana bagaimana? Kak Kirana pasti tidak punya uang. Kalau Kak Kirana kelaparan, dia mau makan apa?”
Mayang memijit-mijit pelipisnya lantaran gusar. ”Orang seperti Kak Kirana itu tak mungkin terlantar nasibnya! Dengan wajah cantik, ia bisa mendapatkan belas kasihan dengan mudah. Yang harus dicemaskan itu justru diri kita sendiri!” Mayang menyentak tangan Larasati untuk mengikutinya, ”kita harus berjuang lebih keras untuk sampai ke Kotaraja dan tidak punya keahlian apa-apa untuk bertahan. Kita lebih butuh uang ini daripada Kak Kirana. Paham, Larasati?”
Larasati mengerucutkan bibir. Ia tidak setuju dengan kakaknya tapi hanya mengangguk pasrah dan tidak berani melawan.
Mayang dan Larasati memasuki sebuah kedai. Wangi aroma pandan dan gurih masakan segera menghambur sehingga perut mereka semakin menggeliat berontak. Kelihatannya tempat itu sudah penuh dan hanya satu meja tersisa di pojok. Kedua gadis itu segera menempatinya dan memesan makanan. Saat sedang menunggu, tiba-tiba saja ada seseorang yang menghampiri meja mereka.
”Permisi, Adik. Meja yang lain sudah penuh, boleh saya menumpang duduk di sini?” sapa sebuah suara rendah yang berat.
Di hadapan mereka berdiri seorang pemuda berwajah rupawan sedang menyapa ramah. Sosoknya amat menawan dan siapa saja yang melihatnya pasti terpikat. Begitu pula Mayang dan Larasati, kedua saudari itu mempersilakannya untuk bergabung.
”Terimakasih,” ujar pemuda itu senang. Ia duduk di depan mereka dan hanya tersenyum saat kedua gadis itu menilai-nilai penampilannya yang sederhana tapi rapi dan mengesankan. Saat ia memesan makanan, mereka memerhatikan gerak-gerik dan sikapnya yang sangat sopan.
”Sepertinya kalian bukan berasal dari sini,” tebak pemuda itu menelusuri penampilan Mayang dan Larasati yang tak biasa. Tak seperti gadis-gadis di Panjaran yang lazimnya mengenakan baju kurung, kedua gadis ini memakai kemben yang dilapisi oleh selendang serta sarung dan celana longgar. Paras mereka manis, sama-sama berwajah bulat telur dan berambut lurus panjang. Ia taksir usia mereka berkisar lima belas tahunan.
”Kalau boleh saya tahu, kalian mau ke mana, Adik?” Pemuda itu langsung mengenali kedua gadis di hadapannya sebagai pengelana dari sikap mereka yang gelagapan menjawab pertanyaannya. Mereka tertawa sesumbar dan yang kelihatannya paling tua berkata dengan terbata.
”Kami—sebenarnya, kami sedang menuju Kotaraja.”
”Kotaraja?” timpal pemuda itu tertarik.
”Iya. Kami mau—”
Yang bungsu seolah ingin mengutarakan maksud mereka sebenarnya, tapi kakaknya lekas menyikut lengan sang adik agar tidak bicara lebih banyak.
”Maaf, kami tidak tahu harus bercerita mulai dari mana. Ini ... memalukan,” tukas Mayang buru-buru, takut pemuda asing itu tersinggung karena dikira mencurigainya. Ia tampak salah tingkah.
”Apa kalian ingin mengikuti pemilihan dayang istana tahun ini di Kotaraja?” tebak pemuda itu.
Mayang dan Larasati saling berpandangan heran sejenak karena sama sekali tidak mengetahuinya. Tanpa pikir panjang, Mayang mengiakan. Sebuah ide cemerlang muncul di benaknya.
”Tapi ... itu tidak mungkin,” sergah Mayang kemudian seolah ia sedang berpanjang angan.
”Kenapa tidak mungkin?”
”Karena—” Mayang berusaha mencari akal. ”Karena kami dari kerajaan tetangga ....” Ia berbohong mengenai asal mereka.
”Itu sama sekali bukan masalah. Apakah kalian belum mengetahui bahwa Panjaran dan Bandang Saka sejak awal terikat hubungan kerajaan?”
Mayang dan Larasati bertukar pandang bingung. Mereka sama sekali tidak mengetahui apapun tentang Kerajaan Panjaran dan Bandang Saka. Selama ini keluarga mereka hidup terpencil dari dua ibukota kerajaan. Yang mereka ketahui hanyalah sang ayahanda berasal dari Panjaran sehingga Kirana berkeras bahwa beliau mungkin pergi ke Panjaran dengan alasan yang tak jelas.
Pemuda asing itu seolah bisa membaca kebingungan mereka dan berusaha menjelaskan. ”Setiap orang di dua kerajaan ini dapat saling berpindah dan mencari penghidupan dengan bebas. Jadi, walaupun kalian berasal dari Bandang Saka, kalian boleh bekerja dan tinggal di kerajaan ini.”
”Betulkah kami berdua bisa jadi dayang istana Panjaran?” seru Mayang. Tampaknya ia sangat tertarik dengan ide tersebut. Larasati menebar pandangan takut pada sang kakak karena ia pikir rencana ini mulai berlebihan.
”Tentu saja.” Si pemuda mengangguk.
”Tapi, bagaimana caranya? Kami datang ke sini tanpa persiapan sama sekali,” keluh Mayang.
”Hmm.” Pemuda itu bergumam sebentar, lalu berkata heran, ”Kalian datang ke sini tanpa tahu apa-apa. Kedengarannya sangat aneh. Dua orang gadis kecil berkelana meninggalkan tempat asalnya tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya? Sebenarnya apa yang kalian cari di Kotaraja?” Ia menilik, mencoba menggali lebih dalam. Dan itu membuat mereka berdua terpojok. Mayang dan Larasati saling sikut dengan gugup. Tapi Mayang berusaha meyakinkan pemuda itu lagi.
”Sebenarnya ... kami kabur dari rumah ....”
”Kak ....”
Mayang menyentuh tangan Larasati meminta persetujuan. Ia ingin Larasati manut mengikuti rencananya. Dan sedikit melegakan karena pemuda itu bersedia untuk mendengarkan Mayang melanjutkan ceritanya.
”Kami tinggal di tempat yang terpencil dan selalu dipingit di rumah. Lalu kami tidak tahan lagi... Kami memutuskan untuk pergi ke tempat ini karena orang tua kami dulu pernah bercerita bahwa di Panjaran ada sebuah Kotaraja yang besar dan makmur. Mungkin nasib kami bisa berubah bila pergi ke sini.”
”Kalian tidak menyesal telah meninggalkan keluarga kalian?” Kelihatannya pemuda itu termakan cerita Mayang yang separuhnya adalah kebohongan.
”Kak, tolonglah kami .... Kami tidak ingin kembali lagi ke rumah. Kami ingin hidup lazimnya seperti gadis-gadis lain. Kami juga ingin menikmati kebebasan seperti mereka.”
”Bagaimana kalian bisa hidup lazim bila terpisah dengan orangtua kalian?” Pemuda itu berusaha menasehati mereka. Sebuah nasehat yang justru menohok Mayang dan Larasati begitu tajam karena kenyataannya justru terbalik. Kedua gadis itu tidak bisa menahan air mata. Pemuda itu pun langsung merasa bersalah melihat keduanya sesenggukan akibat ucapannya.
”Maafkan perkataan saya. Jangan menangis lagi, Adik. Apa yang bisa saya lakukan untuk kalian?” tanyanya lembut.
”Kami tidak mungkin kembali lagi ke rumah. Yang kami khawatirkan sekarang adalah bagaimana kami bisa bertahan hidup nanti di Kotaraja. Kalau kami jadi dayang istana, apakah hidup kami akan terjamin?”
Pemuda itu pun tersenyum bijak. ”Saya takut kalian malah akan kecewa bila telah menjadi dayang istana nanti.”
”Memangnya kenapa?” tanya Mayang sambil menghapus air matanya.