Petala

Ravistara
Chapter #7

Sumpah Petala

Senandung cengkerik gemeresik membelah hawa yang menggelugut ke sumsum tulang. Lingkaran bulan berlian nyaris sempurna, memandu Kirana menapak tilas dengan legawa. Kakinya berlari enggan berhenti menyusuri danau sebelum berhasil berjumpa sesuatu yang ia cari.

Pondok-pondok para petani sudah lama dilangkau. Tekadnya telah membara mengalahkan darah bak sagara bergelora dan penat yang merajah sangat pada sendi-sendi. Tatkala meneleng ke belakang; ada puluhan, mungkin lebih banyak lagi obor sedang menguntit. Datu Harung pasti telah menemukan kamar yang kosong dan kini seisi kampung sedang mengejarnya.

Kirana berputar-putar di tanah lapang tempat ia menemukan Badai pagi tadi, tepat ketika teriakan panggil-memanggil lamat-lamat mulai terdengar melantangkan namanya. Kirana resah karena tidak mendapati dengusan atau ringkikan menjengkelkan yang kini malah ia damba.

”BADAI!” Gadis itu bersuit panjang dan nyaring, sementara nyala-nyala pelita makin mendekat, lalu terdengar suara ketepuk yang merdu. Sesosok kuda hitam besar muncul di balik pekat kegelapan. Kirana segera menghambur menyongsong dan melompat ke punggungnya.

”HIEEE.”

Badai meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi ke udara sebelum menjejak tanah dan melesat bak dilontarkan dari busur panah.

 ***

Derap tapak kaki Badai menyusuri hutan sunyi tak terambah. Dahan-dahan gergasi menjulur bak lengan tengkorak berpagut seolah merisik selagi Kirana dan kudanya berjuang meretas arah. Entah kenapa vegetasi menjadi semakin rapat saja sejauh yang ia ingat. Ah, Kirana lupa ingatan … Badailah dulu yang membawanya ke sini dan ia silap lantaran tertidur di atas punggung hewan ini. Kirana mencoba memejamkan matanya malam ini, berharap keberuntungan akan datang dua kali, tetapi tak kunjung terjadi. Gadis seelok biduri itu malah disuguhi sendratari Hutan Satya Sekar yang angker.

Kirana dapat merasakan kudanya gelisah. Badai tak henti-hentinya meringkik dengan ketepok tak beraturan. Ia hanya bisa merutuk karena kegelisahan kuda hitam itu kini menular ke dalam dirinya. Ada sesuatu yang salah di sekitar, meski tak kuasa untuk menjelaskan. Bulu kuduknya meremang bak kemuncup terusik anasir jalang. Meski tak sudi patah arang, tak ayal nyalinya melempem juga.

Bagai memasuki sebuah gerbang matra asing, tiba-tiba saja mereka tersesat di bagian hutan yang berpendar hijau kebiruan. Kirana mengerjap sesaat menyesuaikan netranya yang silau. Serdadu kunang-kunang berkelip tiada putus menipu indra. Ia sedang memandang akar-akar banir di kaki gergasi, permadani lumut tebal yang menenggelamkan mata kaki, serta lengan-lengan tengkorak berpilin bak terali rotan di sana sini. Ini adalah pertunjukan malam yang menakjubkan alih-alih mencekam.

“Wah, ini ….” Bagai terkena gendam, Kirana tanpa sadar melungsur turun dari punggung Badai. Kuda hitam itu bahkan meringkik pelan seakan mengirimkan peringatan. Namun, kaki jenjang telanjang milik sang gadis enggan untuk kembali. Matanya nyalang menyelusuri tempat itu yang tiba-tiba membangkitkan sesuatu dalam kenangannya. Sepertinya … ia pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya.

Srek.

 Gerisik terdengar di pepohonan, tersembunyi dalam bayang-bayang. Kirana menelengkan kepala dalam satu gerakan mahacepat. Ia gagal menangkap sesuatu di sana pada waktu yang tepat, lalu bunyi berbisik itu kembali terdengar di belakangnya. Nah, hatinya mulai gentar sekarang menyadari kemungkinan bahwa bukan dirinya seorang di tempat ini. Sementara, kuping Badai di sudut netranya mulai menegak.

Kirana kini awas mengumpulkan segenap kewaspadaan dengan tatapan liar menyapu remang kegelapan di luar lingkaran kunang-kunang. Kemudian, gerisik kembali mempermainkan dedaunan kering setengah membusuk di akar banir. Ia tak tahu siapa pelakunya, tetapi sesuatu bergerak sangat cepat dan bisa berasal dari penjuru mana saja. Sangkala, tiba-tiba saja sesosok bertubuh lebar. Lengan perkasanya tumbuh membentang bagai merengkuh awang. Kaki gadis itu terpancang di hamparan selimut kerak yang bahkan tidak mampu mencengkeram gamang. Kirana nyaris tergelincir jatuh. Celakanya lagi, ia tak mampu menjangkau Badai. Kuda itu malah meringkik gelisah berputar-putar seolah merasakan ketakutan tuannya.

“Tidak! Jangan mendekat!” jerit Kirana panik pada sosok makhluk yang siap mengambil ancang-ancang.

 Kilasan-kilasan masa lampau yang lama tenggelam seolah mencuat kembali ke permukaan. Bukan hanya tempat ini yang membangkitkannya, tetapi juga sosok yang kini bergerak perlahan mendekati dirinya. Kirana berbalik arah mengambil seribu langkah selagi kakinya berjuang mengesat licinnya lumut serta bulir ketakutan.

Kilasan kenangan itu samar-samar berpadu kebingungan. Kirana tidak ingin makhluk itu menangkapnya lagi! Ia berlari, sesekali tersandung dan terguling di atas tanah, tetapi tubuhnya yang keras kepala menolak untuk menyerah. Gadis itu bangkit dan terus bergerak menghindari sosok yang melayang gesit berkelit di antara dahan dan rerimbunan. Kepak sayapnya ringan membelah udara sehingga ia kini tepat berada di atas kepala Kirana.

Deru angin menghantam segenap keberanian Kirana dan untuk pertama kalinya gadis itu menyesal tidak menuruti petuah orang-orang yang telah memperingatkannya akan Hutan Satya Sekar. Keberuntungan tak datang dua kali, wejangan itu terngiang bijak di telinganya, tetapi kebenaran terungkap terlambat adalah harga yang harus dibayar oleh selaksa kebodohan. Akankah ia menjadi salah satu dari mereka yang tidak kembali dari Rimba Hitam?

Makhluk itu mengerang sekarang. Sebelah sayapnya telah tertancap di batang gergasi dan sebelahnya lagi mengepak kuat ingin membebaskan diri. Kirana sempat melihat wajah kera sangar mendelik marah dengan taring-taring berkilat memenuhi mulutnya yang melolong gusar. Makhluk apa itu?

“Bodoh! Lari!” Seseorang memaki. Kirana merasakan tarikan keras di pergelangan tangannya membuyarkan keterpanaan pada sosok mengerikan di hadapan.

Tertatih-tatih kakinya diseret menyesuaikan laju kecepatan orang yang berlari memandu memimpin. Terlalu banyak kejutan malam ini yang mendorong dirinya melampaui batasan, tetapi ia tidak boleh pingsan sekarang atau mati. Hingga alam jualah berbaik hati … Kirana dan orang kedua terperosok pada dinding lembah yang tiba-tiba muncul di depan jalur pelarian. Mereka bergulingan tanpa ampun, lantas berhenti karena terantuk permukaan landai dan berbatu cadas.

Ah, gadis itu meringis kesakitan dengan tubuh memar dan lecet, bangkit terduduk dari peristiwa yang menegangkan urat saraf. Akhirnya, Kirana bisa melihat sosok penolong misterius yang berhasil meloloskannya dari kejaran si kera bersayap. Orang itu memandang dirinya bingung.

“Apa kau manusia?” tanya orang itu yang ternyata adalah seorang anak muda. Kirana menerka dari penampilannya yang masih menyisakan gurat belia. Raga berotot liat ramping milik pemuda itu belum mekar sepenuhnya. Itu pun sudah lumayan mengagumkan ditunjang oleh sorot mata yang berkilat tajam dalam temaram dan menyiratkan kecerdikan. Pemuda ini bagai mesin pemburu yang mampu menghajar makhluk mengerikan apa pun namanya tadi.

“Kau sendiri?” Kirana balik bertanya curiga. “Apa kau sendiri juga manusia?”

“Apa aku terlihat seperti siluman?” Pemuda itu mendengkus kesal. “Tak mungkin ada perempuan di hutan kecuali kau adalah lelembut penunggunya.”

“Jaga mulutmu, Adik!” Kirana menghardik pemuda itu tak kalah kesal. Dadanya naik turun menahan amarah karena ia malah dituduh yang bukan-bukan setelah nyaris celaka.

“Kalau kau tak yakin aku adalah manusia, untuk apa kau menyelamatkanku tadi?”

“Aku tidak berusaha menyelamatkanmu, tetapi menyelamatkan diriku sendiri. Makhluk tadi sempat mengejarku dan keadaanmu menguntungkan sekali sebagai umpan pengalih perhatian. Aku jadi punya kesempatan untuk menyerangnya.”

Lihat selengkapnya