Gelombang haru yang ganjil menyelusup di bilik hati Bara kala menginjak bumi perkampungan penuh rumah panggung dengan bubungan tinggi-tinggi itu. Kirana menuntun arahnya ke sebuah pondok dengan pekarangan luas yang letaknya paling ujung. Gadis itu menggagas niscaya sejenak dan bertanya pada dirinya, ”Tak bisakah kita menunggu hingga fajar?”
Kirana berharap boleh mengulur waktu. Melarikan diri dari tawanan, lalu membawa serta orang asing, mungkin saja dianggap sebuah kejahatan berat yang akan menggali kuburannya sendiri. Celakanya, yang ia bawa bersamanya sekarang adalah pangeran dari Panjaran pula!
Kirana tergemap mengiringi langkah Bara yang tak sudi menjawab dan malah naik ke serambi rumah. Ia halau sang pangeran agar tahu diri dan tak dekat-dekat dirinya. “Menyingkirlah agak menjauh,” perintah Kirana dengan bola mata berpijar cemas. Andai bisa ia perintahkan sekalian agar pemuda di hadapannya lenyap sekalian ditelan halimun. Dengan gamang, Kirana mengetuk pintu layaknya sedang mengusik sarang macan saja. Hatinya bertalu bak genderang perang, apalagi tatkala terdengar derit dari dalam rumah.
Wajah Datu Harung muncul di hadapannya sekejap pintu terbuka. Lelaki itu berdengap menyadari siapa tamu yang telah membangunkan tidurnya dini hari. ”Kirana!” Alangkah eloknya jika Datu Harung menyambutnya dengan semringah, alih-alih bagai berhadapan dengan danyang pengganggu malam yang telah jauh dari rembang.
”Maafkan saya Datu!” Kirana langsung bersimpuh di hadapan lelaki itu. Air muka Datu Harung pun pias oleh beragam purbasangka. Murkanya masih membara akibat tindakan gadis itu, sekaligus merasa iba melihat rupa Kirana yang kacau-balau seolah baru pulang dari medan perang. Kemben gadis itu belepotan tanah, seiras wajahnya yang coreng-moreng dan rambut kusut masai. Kirana jauh arang dari kesan nirmala dibandingkan pertama kali mereka berjumpa di tepi danau. Agaknya, Rimba Hitam telah mengejawantahkan hukuman yang pantas untuk sang pengkhianat!
”Ayah!” Massaya mengintip dari balik pintu. Awalnya, wanita muda itu merasa takut. Ia pikir, Kirana adalah dedemit hutan yang tersesat. Namun, keberaniannya pulih setelah mengenali wajah gadis yang sedang berdiri di depan rumahnya. Ia langsung menyongsong ke sisi Datu Harung. Bagai terang bulan tak terjaring kemelut kabut, Massaya melontarkan cela tanpa sungkan karena terusik oleh kehadiran Kirana. ”Kenapa kau kembali ke sini? Apalagi yang kauinginkan dari kami? Tak cukupkah kau membuat ayahku susah? Gara-gara perbuatanmu, Datu Arai nyaris mengasingkan kami. Keluarga kami sudah kehilangan muka!” sesalnya penuh dendam.
”Massaya ....” Datu Harung menyuruh putrinya untuk tidak ikut campur dan masuk ke kamar. Lelaki itu tidak ingin Massaya terlibat dan pura-pura saja menutup mata. Sementara, Kirana hanya menangis karena rasa bersalah. Ia terus menjura memohon ampun.
”Sudah, cukup. Orang-orang kampung bisa mendengar. Sebentar lagi suryakala terbit. Cepatlah masuk ke dalam rumah,” perintah Datu Harung pada gadis itu. Namun, lelaki itu terperanjat ketika menyadari ada orang lain di serambi rumahnya. Sosok itu sedang berdiri di pelipir, mematung bagai meneroka suasana, termasuk air muka mereka.
”Siapa dia, Kirana?” tanya Datu Harung dengan nada khawatir.
“Ampun, Datu. Saya terpaksa membawanya serta. Saya tidak punya pilihan karena kami dikejar oleh siluman di hutan.”
”Masuk!” perintah Datu Harung kini sungguh cemas. Massaya yang diam-diam mengintip, segera menutup pintu kamar dan bersembunyi. Tak berani ia menguping pembicaraan mereka selanjutnya setelah mendengar Kirana tadi menyebut-nyebut perkara siluman. Datu Harung kini menghadapi tamu di rumahnya seorang diri.
Alangkah terkejutnya Datu Harung ketika melihat wajah Pangeran Bara. Lekas ia menutup pintu di belakang mereka. Entah kenapa wajah itu seperti tidak asing baginya. Lelaki itu menjelma pandir kala mengamati pemuda gagah dengan kulit terbakar yang menatapnya dengan mata tajam penuh keawasan. Ada rasa jemawa di sana bercampur dengan ketaksaan usia belianya yang Datu Harung taksir tak lebih matang dari Kirana atau pula putrinya sendiri.
”Kirana, kau telah melakukan kesalahan yang sangat besar,” ujar Datu Harung tajam.
”Ya, Datu. Saya memang salah,” timpal Kirana tanpa usaha sama sekali untuk mengelak.
”Lalu … untuk apa kau kembali ke sini? Kau telah menabur mala. Orang-orang Angsana mungkin tidak akan mengampuni kesalahanmu kali ini!”
Kirana tertunduk tanpa berani mengangkat muka apalagi menentang tatapan lelaki itu.
”Pertemukan saya dengan tetua dari Petala!” Pangeran Bara tiba-tiba angkat bicara dan memerahpadamkan wajah Datu Harung. Kirana langsung menghela pemuda itu. ”Bara, jaga sikapmu!”
”Saya tidak punya niat buruk pada kalian. Saya ingin bertemu dengan Datu Arai. Apakah beliau masih hidup?”
Kirana dan Datu Harung tercekat kala lidah Pangeran Bara menyebut nama keturunan bangsawan Petala itu.
”Siapa kau?” Datu Harung lekas mengejar si pemuda lancang. Lelaki itu mencoba mengamati perawakan Pangeran Bara lebih lekat. Sesuatu yang mengganggu pikirannya tadi semakin menjadi-jadi.
”Pertemukan dulu saya dengan Datu Arai. Saya sengaja datang ke sini untuk mencarinya,” pinta Pangeran Bara.
”Baiklah, saya akan mengantarkanmu bertemu Datu Arai sebelum langit terang. Saya tidak ingin Angsana gempar oleh keberadaanmu.” Entah kenapa lelaki itu kelihatan tidak sabar, seperti ada hal mendesak yang tidak bisa ditawar lebih lama lagi.
Kirana diam seribu bahasa. Awalnya, ia pikir Pangeran Bara hanya ingin mencari perlindungan di kampung ini. Akan tetapi, pemuda itu ternyata menyembunyikan maksud lain. Ia tidak berani mengungkap identitas sejati Pangeran Bara di hadapan Datu Harung. Biarlah orang-orang ini mengetahuinya sendiri. Jadi, tatkala lelaki itu menenggarai permintaan sang pangeran, ia pun tidak ikut campur.
***
Ketiga orang itu mengendap-endap seperti tikus menembus jalan petak kampung yang gelap tanpa obor. Mereka berusaha tidak menarik perhatian sedikit pun hewan-hewan malam yang terjaga. Seekor dubuk yang tak sengaja terbangun, seketika menggeram, tetapi tidak berani menyalak. Hewan malang itu tampak ketakutan, lalu meringkuk menyembunyikan wajah dengan tungkai depannya serta mengeluarkan lolongan lirih bagai merengek. Kirana tidak ambil pusing. Ia tidak ingin menyelisik siapa di antara mereka yang telah menakuti naluri liar hewan malang itu. Untunglah, keganjilan tadi sekadar pintas lalu di mata Datu Harung yang mungkin sudah rabun dalam kegelapan. Berkali-kali terdengar keresek kerikil di bawah kaki lelakinya, tanda lelaki itu setengah buta dalam kegelapan.
Setelah bergelut menempuh pekat malam, tibalah mereka di sebuah rumah dengan gigir rendah yang memagarinya. Puspa-puspa yang menghiasinya sedang mekar sempurna dan menebar aroma mistis di udara yang melebur bersama keringat dingin Kirana. Duhai, bulu romanya mendadak kejur. Tak kuasa berdamai dengan gamam yang terlanjur menghinggapi. Makin runyam nian ketika mendengar Datu Harung berpetuah sebelum masuk ke halaman rumah Datu Arai.
”Apa pun yang terjadi kali ini, jangan minggat lagi Kirana. Itu berlaku juga untukmu, Anak Muda ....”
Pangeran Bara menatap lurus pada Datu Harung. Kelihatannya, ia tidak merasa gentar sedikit pun. Sebaliknya, Kirana di sampingnya tampak tertekuk, seakan belum siap menghadapi apa yang akan menimpanya nanti karena ia pernah bertemu dengan Datu Arai dan mengetahui tabiat orang tua itu. Kirana seakan sedang memperjudikan nasibnya sendiri.
”Tunggu di sini.” Datu Harung menyuruh mereka untuk menunggu di depan tangga.