Langit belumlah purna menyembunyikan rupa sang bagaskara. Ekor lembayung di barat cakrawala memantulkan gemerlap keemasan pada rangkai matra yang diam dan bergerak di permukaan. Termasuk dua sosok yang saling bertukar pandang dalam gamang. Sedapat mungkin mereka berlindung dalam bayang pohon waru yang banyak terdapat di daerah sungai perbatasan Tapak Siring. Demi menghindari nyala garang bak api di ufuk barat.
“Panglima Gading, kita tidak akan pernah mampu memindahkan gunung. Yang bisa kita lakukan hanyalah membuat lubang di perutnya dan memangkas habis mahkotanya. Lalu, biarkan gunung itu runtuh dengan sendirinya.”
Sang panglima setia mencari kesungguhan pada bening netra Pangeran Satya Sekar yang sedang memadu mesra pada raksesa hitam di hadapan mereka. Hutan Satya Sekar. Alangkah jenaka dunia ini mempertemukan dua sosok berbeda rupa dan bentang dalam rangkai aksara serupa. Siapa bersyak wasangka rahasia di baliknya? Renjana sang prabu dari Panjaran kiranya telah melekat sedemikian hingga pada misteri hutan yang menyimpan takhayul pekat. Itulah satu-satunya wilayah yang masih belum berhasil ditaklukkan oleh kedua kerajaan yang mengapitnya. Tiada yang tahu sebabnya sang prabu memberikan nama itu untuk putra mahkota dari Panjaran. Frasa keramat yang dijunjung lewah untuk mengenang sejarah penaklukan bumi Petala. Sejarah yang menyisakan sebuah prasasti abadi, situs larangan.
“Ampun, Paduka. Saya tidak mengerti. Apakah yang Paduka maksud tadi adalah hutan itu?” tanya Panglima Gading gamam. Pangeran Satya Sekar meneleng untuk menunjukkan sebaris geliginya yang putih cemerlang. Bagaimana cara dirinya menyampaikan kepada sang panglima bahwa hutan itu hanyalah perlambang seteru dari gunung sejatinya? Hutan Satya Sekar bagaikan lubang dalam jantung hati ayahandanya. Lubang yang mampu mengikis borok-borok kemanusiaan Prabu Arya Wengga hingga melepuh. Tak lama lagi, lubang menganga itu mungkin akan meruntuhkan gunung yang selama ini ayahandanya tinggikan hingga ke puncak bumantara.
“Tidak perlu sungkan untuk menyebutkan sebuah nama, Panglima.”
Panglima Gading tersipu. Ia sadar bahwa sang junjungan sedang bersilat lidah untuk menghindari pertanyaan darinya. Belum sempat panglima itu mencoba menyelisik, seseorang bergabung dalam perbincangan.
“Hatur sembah, Paduka.”
Panglima Danar kembali dari jurit keliling dan lekas menjura kepada sang junjungan, tetapi ia tidak hadir sendiri. Ada Artha Ginting yang tiba bersamanya. Abdi setia Prabu Arya Wengga itu melenggang masuk kancah pertemuan kecil mereka dengan pongah. Serentak Panglima Gading menghunus wesi aji berlekuk lima yang semula tersampir di stagen. Selintas ia melihat lengan kiri Panglima Danar yang bersimbah darah. Rupanya, jenawi Artha Ginting berulah kembali, lolos dari sarungnya.
“Tahan kerismu, Panglima Gading ….” Pangeran Satya Sekar menghela napas. Sebaliknya, ia menyuruh Panglima Danar berpindah ke sisinya. Tak ia indahkan ekor mata Artha Ginting yang masih lekat mengincar mangsa.
“Paduka, sungguh keberuntungan hamba bertemu Anda di swatantra yang terpencil ini. Semua berkat kemurahan hati Panglima Danar.” Artha Ginting melempar seringaian memuakkan.
Pangeran Satya Sekar membalas dengan kedua sudut mata melentik, mengirimkan sasmita seribu peringatan atas kelancangan Artha Ginting yang telah melukai salah satu penggawanya. “Segala yang kauanggap semenjana bisa berbalik memangsa suatu hari, Artha Ginting. Memercik bara bakal mengundang binasa.”
Artha Ginting menyeringai di atas angin. Tak segan ia layangkan sauh penuh tantangan pada manik mata sang pangeran. “Begitu pula dengan Anda, Paduka. Hamba yakin Paduka telah mendengar kabar yang tersiar tentang istana. Namun, Paduka malah berkeliaran di wilayah perbatasan ini. Apakah Paduka berniat menjaring angin yang membawa petunjuk tentang Bara Sukma?”
“Artha Ginting, di mana adat-istiadatmu? Sungguh tak bertata krama tuturmu menyebut Pangeran Kedua Panjaran!” Panglima Gading naik pitam membentak sosok jemawa yang serta-merta tergelak sinis digertak oleh sesamanya.
“Apakah kabar itu belum sampai ke telinga Paduka Pangeran Satya Sekar? Hak Bara Sukma sebagai Putra Baginda Prabu Arya Wengga telah dicabut dan tawaran untuk kepalanya berembus ganas bak angin gunung.”
Panglima Danar tertunduk. Sementara, Panglima Gading seakan melihat pijar wedhus membakar aura sang pangeran hingga siap menghanguskan bumi yang ia pijak.
“Hamba berharap Paduka belum mengetahuinya karena kalau tidak … hamba akan berpikir bahwa Paduka sedang berusaha menentang titah Baginda Prabu.”
“Artha Ginting! Lancang sekali bicaramu!”
Dengan amarah yang melindap sempurna dalam ketenangan sukma, lengan sang pangeran terentang menahan dada penggawa setianya yang tampak berniat maju membungkam pria itu.
“Kedatangan hamba hanya untuk menyampaikan titah Baginda Prabu Arya Wengga. Paduka diperintahkan untuk kembali ke Nawawiwara di kotaraja dan hamba sendiri yang diutus untuk menjemput Paduka Pangeran Satya Sekar.”
Pangeran Satya Sekar bergeming. Sekonyong-konyong dirinya telah terseret dalam pusaran lelakon bak simalakama.
***
Sengat suryakala masuk melalui jendela. Hangatnya mengelantang dan sampai pada permukaan wajah Kirana. Kelopak mata gadis itu menggeletar sejenak lantas terbuka. Sesaat ia bergeming menggenapkan kesadaran dalam benak, lalu mendesah karena telah melewati satu malam di Kampung Angsana, di rumah Datu Harung. Ia kembali lagi ke tempat ini.
Kirana terbangun dalam sekejap. Tubuhnya mematung kejur di pembaringan. Kejadian satu hari dua malam kemarin memang menguras seluruh akal dan daya. Namun, kini matanya lebih jernih, eling, dan waspada. Nuraninya melahirkan dorongan untuk bertemu Bara sekarang. Kirana mengambil sikap untuk menanggalkan gelar pangeran di depan nama pemuda itu. Belum juga tuntas keinginannya terlaksana, ia malah menabrak Massaya di depan pintu. Wanita muda itu terjengkang. Sementara, Kirana hanya terhalau selangkah. Bergegas gadis itu menolong Massaya untuk bangkit.
“Tergesa-gesa sekali kelihatannya dirimu. Ke manakah kau hendak pergi?”
“Rumah Datu Arai.”
Alis Massaya bertaut. “Mau apa kau ke sana?”
“Mencari Bara.”
Giliran bibir wanita muda itu kini kian menipis. Sejurus kemudian, sudutnya sudah melengkung semringah. Ia berdecak memegang bahu Kirana sambil memperhatikan gadis itu lekat, lalu menggeleng prihatin.
“Mandilah dulu. Berdandan yang cantik. Biar kusanggul rambutmu nanti agar lebih anggun dan leher jenjangmu itu pasti bersinar di bawah suryakala. Aku sudah menyiapkan sarapan. Pergi dari rumah dengan perut kosong hanya akan membuatmu tampak tidak sehat.”
“Tidak perlu. Aku buru-buru!” sanggah Kirana serta-merta merasa janggal akan perhatian Massaya yang berbalik mata angin dibandingkan tadi malam. Namun, wanita itu berkeras menahan langkahnya. Perut Kirana pun keroncongan seolah meningkahi kata-kata Massaya.
“Aku hanya ingin bertemu Bara sebentar. Bukan jalan-jalan.” Ucapan Kirana bersambut delikan tajam Massaya. Wanita muda itu menggeleng tegas tanda tidak setuju.
“Beginikah caramu bertamu ke rumah orang? Berhentilah bersikap seperti gadis liar!”