Rambut pria itu telah memutih pirau sebagian. Begitu pula cambang dan janggutnya. Lekuk-lekuk usia turut mengglasir kebijaksanaan yang tercetak pada wedana. Pria itu tidak sama persis seperti yang Pangeran Satya Sekar ingat. Namun, matanya masih awas mengenali sekilas penampilan Empu Wistara. Sang mahapatih yang kerap bertandang ke keraton Nawawiwara semasa ia belia.
Dua belas tahun usianya dulu kala sang mahapatih sekonyong-konyong mengajukan masa penangguhan ngabekti, lalu dikabarkan berdiam di selatan, di Tapak Siring, perbatasan antara Panjaran dan Bandang Saka. Meskipun demikian, tetap ada segelintir yang berubah, dan Pangeran Satya Sekar terpecut kala tatap mereka berserobok sekian jenak. Sangkala, keniscayaan yang terpancar dari mata pria itu seakan melindap terbias gamang. Lantas sang pangeran mafhum bahwa mereka berdua sedang terimbas perkara yang sama dan mengharap suaka.
“Empu Wistara, kau pasti telah mengetahui sebab pemanggilan dirimu untuk ngabekti,” sapa Prabu Arya Wengga tanpa basa-basi.
“Betul, Baginda,” jawab sang mahapatih dengan sikap nuraga. Dalam hening, Pangeran Satya Sekar mencerna dengan saksama tutur Empu Wistara yang membetik nuraga. Belum pernah kiranya ia berjumpa seseorang yang mampu mengkaliskan sanubari Prabu Arya Wengga layaknya sang mahapatih. Setiap tutur laku yang tercurah dari dalam diri pria itu ibarat kesejukan air terjun yang mampu melegakan dahaga.
“Dalam terawangan hamba, merebaknya kabar tentang pembelotan Bara Sukma akan melemahkan kedudukan Baginda di dalam negeri, apalagi jika sampai terendus oleh Bandang Saka. Baginda harus meredam kabar itu agar tidak semakin liar dan tak terbendung.”
“Nasihat apa gerangan yang akan kauberikan padaku, Mahapatih?” Prabu Arya Wengga terlihat gusar.
“Dengan penuh hormat, Baginda. Temukan Bara Sukma secepatnya dan tawarkan perdamaian, lalu asingkan dirinya. Sementara itu, segerakan pernikahan politik antara Panjaran dan Bandang Saka. Jika Bara Sukma berniat membangun kekuatan suatu hari, maka tidak ada pilihan baginya selain harus menghadapi dua kerajaan.”
“Apakah hukuman itu setimpal atas cela yang telah ia toreh, Mahapatih?” Prabu Arya Wengga menyelisik comek di bawah bibirnya.
“Mohon ampun, Baginda Prabu. Paduka adalah maharaja yang disegani bukan saja oleh segenap negeri, tetapi juga negeri tetangga Bandang Saka. Pertumpahan darah dalam keluarga adiwangsa hanya akan mencoreng keluhuran Nawawiwara. Jikalau Baginda Prabu memperlihatkan welas asih dan pengampunan, itu akan lebih memikat nuraga rakyat dan negeri sahabat.”
“Aku akan terlihat lemah andai menuruti nasihatmu itu!”
“Perpecahan di dalam tubuhlah yang akan membuat lemah, Baginda. Sementara, jatha hanya ditujukan untuk musuh dan ancaman dari luar. Bara Sukma masih darah daging Baginda sendiri. Usianya belia, dunia belumlah lama dikecapnya, hingga api dalam dadanya masih mudah berkobar. Pengasingan di tempat yang sukar pasti akan menempa akal dan batinnya lebih matang. Beri tangguh Bara Sukma untuk meresapi diri. Andai itu belum cukup juga, maka Paduka boleh memberinya dua pilihan. Pengampunan dengan segala kebaikan di dalamnya atau hukuman keras yang akan ia derita seumur hidup. Paksi yang hidup lama di dalam sangkar tidak akan terbang ke mana-mana selain kembali pada tuannya, Baginda.”
Gelak Prabu Arya Wengga membahana menebah keheningan malam. Sang prabu tampak bersukacita mendulang welang dari sang mahapatih. Perintahnya pun melejit dihantarkan oleh seorang utusan dari pangkeng ke pangkeng, menyiagakan para keprajan setia yang siap menerima titah di balai kencana, pangkeng istimewa sang prabu untuk menjamu sowan kerajaan. Tak ketinggalan Pangeran Satya Sekar dan Empu Wistara pun turut bergabung. Artha Ginting juga hadir di sana. Sang prabu mengelu-elukan gagasan cemerlang yang ia peroleh; Artha Ginting di belakang sisi sang prabu, mendengkus murka. Tatapannya menyala-nyala semenjak mendengarkan penuturan dari Empu Wistara. Pangeran Satya Sekar pun membaca ancaman dari tatapan nyalang pria itu, lalu pandangannya tertuju pada sang mahapatih.
Apakah Empu Wistara berada di pihak Ayahanda? Batin Pangeran Satya Sekar mencelus. Kepalanya meneleng kentara pada pria dengan tatapan yang janggalnya tidak sedingin kata-katanya tadi. Air muka Empu Wistara bagai sitakara berkelindan awan. Sang prabu dan orang lain mungkin tertipu, tetapi waskitanya tidak. Ada perkara tersemat dalam ketenangan sang mahapatih. Dasar telaga pria itu terlampau dalam untuk diselami.
***
Bayu berembus mengirik permukaan telaga yang mengungkung keputren Tlagawening. Seorang permaisuri termenung di depan jendela, merenungkan nasib yang beriak pasrah di tengah telaga kehidupan, lalu terhempas sirna di balik cermin. Ia memandang gatra semu yang menyapa kelu di bawah jendela, lalu mengusap kehidupannya yang dipingit bagai kotak perhiasan. Sekadar dibuka tatkala balairung disemuti oleh rakyat jelata yang ingin menyaksikan wujud sang panembahan ratu negeri mereka. Prabu Arya Wengga hanya membutuhkan kehadirannya di sisi pria itu kala perhelatan rakyat. Dirinya telah menjelma menjadi estri yang renta dengan pesona pudar digerus usia.
Derana. Tak muluk asanya melakoni sisa waktu yang disuratkan. Menggenapi separuh napas yang kini diabdikan hanya demi sang putra. Telah ia wejang buah hatinya untuk lelana brata dan ngelmu. Semoga saripati kebaikanlah yang yang mengalir dalam darah sang pangeran.
Saujana, Nyi Alu Respati menyelusuri pelosok Telaga Wening yang elok dengan hamparan waru di tepian. Namun sejenak kemudian, dendang alam meriuh. Cericip dedaunan di kejauhan bergerisik meladeni senda gurau bayu. Sang permaisuri gelisah. Ibarat sebuah firasat sedang mendekat. Laksana tiga belas tahun lalu. Konon, Telaga Wening adalah istana larangan, di mana serangkai kenangan bersenyawa menghadirkan sesosok perempuan.
Cemerlang bak gemintang, sosok dara belia itu memaku permaisuri di singgasananya. Rambut hitam jelaga berpadu mesra dengan kulit kuning langsat dan mata secokelat madu. Diantarkan oleh seorang keparak sepuh untuk sowan kepadanya. Bibir bak intannya yang penuh kirmizi mengucap salam semerdu kicau kenari. Sosok itu jelmaan sendratari alam memikat bak peri jenggala. Sang permaisuri tergemap oleh kagum dan cemburu. Kedudukannya selama tiga belas tahun sebagai estri tunggal, lengser oleh kehadiran Selir Rana Tambu.
“Sarkara tikta wayang melakoni hidup.” Nasihat dari Empu Wistara bagai mercu suar di tengah gelombang penyesat haluan. Sang mahapatih benar. Ia telah berada di puncak kejayaan dan melahirkan seorang putra mahkota Panjaran. Akan tetapi, sang prabu masih menginginkan lebih. Kedudukannya sebagai permaisuri memang tak tergoyahkan. Sementara, jauh di lubuk hati Prabu Arya Wengga, keistimewaan itu telah ditempati oleh para selir. Rana Tambu hanyalah awal mula. Sudah tak terhitung berapa orang estri yang dipersunting oleh raja Panjaran semenjak ia disingkirkan ke keputren Tlagawening, bekas kediaman yang dibangun khusus untuk Selir Rana Tambu sebelum wanita malang itu dihukum mati.
“Mbakyu, tolonglah aku ….” Waktu itu Rana Tambu tertangkap tangan saat hendak melarikan di dari Panjaran. Madunya itu membawa serta Bara Sukma yang masih berusia dua tahun. Namun, para hulubalang yang diutus mengejarnya berhasil menemukan ibu dan anak itu saat hendak menyeberang dari perbatasan Tapak Siring.
“Kenapa kau melakukan ini, Diajeng?” Nyi Alu Respati menyesalkan tindakan selir itu. Perasaannya berbalik kasihan, apalagi melihat Bara Sukma yang terus saja menangis tatkala dipisahkan paksa dari sang ibu yang kini mendekam di penjara menunggu penghakiman. Sisi nurani Nyi Alu Respatilah yang mendorongnya untuk menjenguk. Tak dinyana, itu adalah pertemuan terakhir mereka. Dengan berurai air mata, Rana Tambu menuturkan sebuah kisah terpendam kepadanya. Dunia serasa ditimpa lindu. Ia nyaris tidak memercayai pengakuan Rana Tambu kala itu. Namun, kenyataan di depan matanyalah yang menyadarkannya bahwa wanita itu telah bersikap jujur. Prabu Arya Wengga tidak sudi untuk mengikat nisbah dengan Rana Tambu. Sang selir pun berakhir di ujung bedor.
Sepeninggal Rana Tambu, Nyi Alu Respati mengasuh Bara Sukma layaknya putra sendiri. Ia didik putra cilik itu melalui welas asih kedua tangannya. Kadang sukmanya terenyuh menatap mata cemerlang sang putra yang mengingatkannya akan mata Rana Tambu. Permaisuri bertekad. Suatu hari, akan ia ceritakan kisah ini kepada Bara Sukma menjelang masa kedewasaannya. Ia bersedia membayar berapa pun harga agar sang putra mengetahui kebenaran jati dirinya.
“Punten, Paduka.” Seorang keparak memohon diri dan membuyarkan kilas balik sang permaisuri. Abdi dalem wanita paruh baya menjura hingga Nyi Alu Respati memutar tubuhnya dari bingkai jendela, lalu menyilakannya untuk bicara.
“Ada apa, Kanca?”
“Ada seorang pelawat yang ingin sowan kepada Paduka.”