Tirai kelambu tertutup menyembunyikan seorang wanita di baliknya. Nyi Alu Respati menolak sesiapa yang berniat melawat, tetapi tidak punya kuasa tatkala Prabu Arya Wengga sendiri yang bersikeras menemuinya. Kabar dari keputren Tlagawening rupanya terbetik dengan cepat. Dituturkan dari satu keparak ke keparak, hingga sampai ke telinga raja.
Prabu Arya Wengga bagai ditipu oleh mata kepalanya sendiri kala membuka kelambu dan menyaksikan apa yang terjadi pada permaisuri. Dalam semalam, Nyi Alu Respati laksana menetas dari cangkang telur! Kulit mulus belia, daging pipi ranum berisi bak persik di rembang matang, tulang selangkanya bahkan tenggelam oleh bukit kembar yang meremaja di balik tunik tipis bekas tidurnya.
Tatapan mengandung decak takjub pengingkaran sang prabu terpantau kentara oleh permaisuri. Peristiwa yang berlaku pada dirinya pasti terlampau lengkara untuk dijangkau nalar biasa. Wajahnya tertunduk, dadanya memendam rawan hati tak ternyana; cemas akan buah pemikiran yang terlintas dalam benak sang prabu.
“Kau sungguh Nyi Alu Respati?”
Kepala Nyi Alu Respati makin terbenam nyaris menyatu dengan dada. Tiada yang mampu ia bantah selain mengangguk pasrah.
“Baginda, aku mohon … jangan bertanya lebih jauh. Aku tidak akan bicara dan menjawab lebih dari ini. Izinkan aku mengarantina diri; jangan ada seorang pun mendekat dan menggangguku kecuali atas permintaanku sendiri.”
Prabu Arya Wengga serejang menyepakati. Ia mengeluarkan titah untuk sang permaisuri tanpa sawala. “Sejengkal pun kau tidak boleh menginjakkan kaki keluar dari Tlagawening. Seluruh negeri akan gempar dan namaku akan tercoreng karena telah mengawini seekor siluman!”
Air mata tergelincir dari pelupuk basah Nyi Alu Respati. Alih-alih terpikat, Prabu Arya Wengga justru memandang jijik terhadapnya. Nasibnya kini nyaris tiada beda dengan Rana Tambu. Di ujung tanduk. Kemudaan yang ia peroleh bukanlah anugerah, melainkan kutukan bengis penghancur keluarga. Ia bahkan tidak punya muka untuk berjumpa dengan belahan hatinya sendiri, Pangeran Satya Sekar. Apa kata sang putra jikalau menyaksikan keganjilan sang ibunda?
Permaisuri yang malang. Tak butuh berlama-lama baginya tersungkur dalam derita. Ardacandra terbit pada langit jagat, tepat sebulan setelah lek wedana, Nyi Alu Respati ditemukan terapung di telaga. Jasadnya menepi menabrak titian dan memerikan keparak yang pertama bertugas hari itu. Arunika masih merekah dibelah suryakala ketika tubuh kakunya diangkat dan disemayamkan di keputren Tlagawening, kediaman terakhir permaisuri sebelum mengembuskan napas penutup usia. Dengan kecantikan mencapai pundaknya, tak ada yang diperkenankan melihat jasad sang ratu kecuali kerabat, termasuk keparak yang melayani dan berada dalam pingitan bersama permaisuri. Tak ada Prabu Arya Wengga. Sang suami seakan tak sudi untuk melayat jenazah istri sigaraning nyawa yang terbuang bertahun-tahun secara raga dan batin. Nyi Alu Respati sekadar kanca wingking yang tersemat rapi dalam lempitan sengkarut Nawawiwara.
Maka, bukan main kepalang terkejutnya Mayang dan Larasati tatkala melihat pemuda bernama Satya yang dulu pernah menolong kedua gadis itu, berada di antara para pelayat. Sementara, keparak muda seperti mereka hanya diperkenankan mengiringi pemakaman sang ratu dari pelipir. Pemuda penuh kharisma itu tampak nelangsa dengan wajah bercucuran air mata. Gurat-gurat digdaya yang membingkai rahangnya seakan luruh dalam sorot nestapa bertabur derana. Mayang dan Larasati tahu diri untuk tidak ikut campur dalam kesedihan pemuda itu sekarang. Meskipun timbul ragam pertanyaan, Satya pastilah seorang abdi berkedudukan tinggi hingga turut hadir memberikan penghormatan terakhir kepada Nyi Alu Respati yang belum genap mereka layani selama satu candra.
***
Dua orang dara sedang duduk berjuntai di sebuah titian yang menghadap sebuah kolam penuh angsa. Hewan-hewan anggun itu berkerumun di dekat mereka, tertarik pada pakan di dalam belanga, siap untuk dilemparkan. Hiruk-pikuk kala angsa berebutan menyambar dedak bercampur sawi dan irisan yuyu yang ditabur. Selaksa hiburan tersendiri setelah ketiadaan Awan dan Badai. Sembari berbuat demikian, kedua gadis itu berbincang penuh keresahan.
“Kak Mayang, istana ini aneh ….” Larasati menekuk wajah belianya sedih, seakan dia telah hidup seabad penuh mara bahaya.
“Jangan bicara sembarangan, Dik!” Mayang mengomeli si bungsu. Seekor angsa meneleng tatkala tak sengaja kena tabur di muka, lantas mengibaskan kepala dan mengepakkan sayap.
“Kak, apa menurutmu permaisuri betul-betul mati karena kecelakaan atau bunuh diri?”
Mayang bergidik karena tersirap darahnya mendengar kedua praduga itu.
“Bagaimana kalau permaisuri mati dibunuh?”
Bola mata Mayang nyaris mencelat dari rongganya. “Cukup, Larasati! Jangan bicara tidak-tidak! Pamali!” Tangannya menebar asal ke kerumunan angsa yang seketika berkaok-kaok berebut pakan.
“Tapi, Kak ….” Tubuh sang adik doyong ke arahnya. “Kakak merasa merinding, tidak, saat membersihkan kamar bekas permaisuri? Serasa ada yang mengawasi di balik dinding. Seolah-olah, ada suara sang permaisuri yang mati penasaran.”