Petala

Ravistara
Chapter #12

Kapat

Derap kaki kuda cokelat melindas tanah merah menyahang hingga kepulan gemawan merantak ke jumantara. Mega mendung di atas langit berkelindan mengirimkan kabar bahwa hujan sebentar lagi akan menyambangi kotaraja. Seorang penunggang di atas kuda tak mengindahkan semua itu. Andai ia menitahkan kedua abdi setia untuk menyusul rombongan yang sedang mendekati Panjaran, tentu mereka akan senang hati melaksanakannya. Namun, ia ingin turun tangan sendiri. Kedatangan tunangan sang putra mahkota ke kotaraja bukanlah hal semenjana. Tanpa sepengetahuan dirinya. Oleh karena itulah, kuda cokelat kemerahan itu terus berlari membawa penunggangnya yang enggan berhenti.

Rintik mulai turun menyapa bentala. Tanah merah perlahan basah dan kepulan mulai sirna ditelan percikan lumpur. Hujan adalah penawar luka, penabur derana. Eling wicaksana sang bestari tak sudi membiarkan angkara murka atas kematian sang ibunda merajalela melalap nurani. Air berdebur-debur menampar muka; dada, lengan, dan kaki telah kuyup; entah apa kata orang yang ia jemput nanti menyaksikan sengkarut keadaannya. Sang putra mahkota rela berbasah-basah demi putri dari Bandang Saka. Tidakkah itu terasa lewah?

Kelewahan itu seakan tumpul taji kala sang pangeran melewati sesosok penunggang kuda lainnya yang bergeming di samping sebuah pedati kecil di pinggir jalan. Pangeran Satya Sekar menghentikan si jaran dan berbalik ke arah pengendara asing bertopi caping lebar yang menyembunyikan wajah pemiliknya.

“Permisi, Kisanak. Apakah kau sedang dalam kesulitan?” tanya Pangeran Satya Sekar tanpa memedulikan bahwa dirinya sendiri tengah berbasah dilumat deras dari atas langit. Si orang asing memutar kepala sejenak, lantas mengintip dari balik caping. Tingginya yang hanya sedagu jenjang sang pangeran, tidak terlihat jelas. Alih-alih, orang itu justru tertunduk dan tampak terbungkuk, sedang berusaha mengangkat sukatan dari punggung kuda. Sementara, pedati kecilnya yang ternyata terperosok dalam kubangan lumpur, penuh oleh tempayan tertutup. Sang pangeran segera mafhum. Rupanya seorang kurir pengantar barang atau pedagang. Sedang menuju ke arah kotaraja dan enggan berteduh untuk meninggalkan tunggangannya sendirian di bawah deraan hujan.

Orang itu terkesiap tatkala Pangeran Satya Sekar mengambil alih sukatan yang basah dan berat. Sekarung palawija, sang pangeran membatin. Ia taksir orang ini adalah seorang petani yang sedang membawa hasil buminya ke pasar di ibu kota. Lalu tidak berhenti sampai di sana. Ia menghela dan menambatkan kudanya pada pedati. Mencari dengan cekatan beberapa bongkah batu besar lalu menyelusupkannya ke bawah roda, lantas membantu mendorong pedati itu dari belakang tanpa peduli kakinya sendiri jadi berlumpur dan kotor. Dengan cara itu, pedati berhasil terbebas dan kuda putih penariknya tampak mengibas ekor senang. Si penunggang asing hanya mampu terdiam takjub menyaksikan. Meskipun merasa aneh, Pangeran Satya Sekar tidak keberatan. Lelana bratanya memberikan banyak pelajaran mulia seperti ini. Telah terbiasa baginya berhenti di tengah jalan hanya demi seorang asing yang membutuhkan bantuan. Akan tetapi, bagi orang yang ia tolong sekarang, tampaknya tindakan tadi amat istimewa. Orang itu mengucapkan terima kasih dan menurunkan caping, sehingga Pangeran Satya Sekar urung menyeret kudanya pergi. Suara itu sungguh merdu.

Sang pangeran bisa melihat bahwa orang yang baru saja ditolongnya adalah seorang gadis. Matanya terpaku tak berkedip sejenak pun pada wajah bundar di hadapannya. Darahnya berdesir tatkala air hujan meluncur mulus pada kulit bening kecokelatan gadis itu. Surjan yang sempat membuatnya mengira bahwa gadis tadi adalah seorang pria, kini telah basah dan menyiratkan kepadatan yang sempurna di balik kain. Dengan susah payah, ia berusaha membawa tatapannya kembali pada wajah sang gadis yang tak kalah indah. Semenjana saja, tetapi sorot keteduhan dan bias-bias kesahajaan yang terpancar dari manik berbingkai kacang kenari nan bening itu sungguh menggugah sukma. Apalagi tatkala suara merdu itu kembali bersaing dengan rintik hujan yang menderu. Bukan hanya di telinga, tetapi urat saraf di seluruh tubuhnya menggeliat penuh renjana ingin menikmati lebih.

“Pertolongan Anda sungguh berarti, Tuan. Tolong terima ini sebagai tanda terima kasih.” Pangeran Satya Sekar terkesiap ketika gadis itu menyerahkan caping kepadanya. Meskipun tanpa senyuman, ada sasmita penuh penghargaan di matanya. Nyaris membelokkan niat sang pangeran dan lupa akan tujuan semula. Namun, pemuda itu insaf. Bukannya menerima pemberian sang gadis, ia malah membuka beskap dari tubuhnya lantas ia sampirkan ke sekeliling pundak gadis yang sungguh terkejut, tak berdaya untuk menolak.

“Pakailah, kau lebih membutuhkannya. Untuk menghindar dari pandangan orang-orang dan niat jahat yang membuat celaka. Berhati-hatilah dalam perjalanan dan jangan melewati jalan sunyi sendirian.”

Gadis itu hanya mampu tercekat tatkala si pemuda berbalik pergi dan naik ke punggung kuda. Tanpa salam perpisahan. Pangeran Satya Sekar kembali melanjutkan perjalanan tanpa beskap yang ia serahkan begitu saja pada si gadis asing. Dalaman tunik tanpa lengan melekat sempurna membungkus dada bidangnya. Bukannya memikirkan apa kata orang-orang nanti atas penampilannya, ia justru mengatup bibir gusar karena memutuskan untuk pergi begitu saja tanpa menanyakan nama sang gadis terlebih dahulu. Ingin sekali dirinya kembali lalu menemani gadis itu hingga ke kotaraja. Memastikan bahwa perjalanannya aman. Namun, ia sekarang punya tujuan semula yang harus digenapi.

***

Bara seakan masih bisa mendengar cekikikan bocah-bocah di jalan kampung kemarin. Ia terpaksa menggendong Kirana pulang. Gadis ini menaruh dendam kesumat hanya karena perkara terompah tiada guna. Kupingnya panas terbakar. Malu juga sungkan. Kirana juga tidak berhenti bicara selama menikmati tumpangan di punggungnya. Gadis itu turut bicara panjang lebar mengenai kekesalannya terhadap Badai, kuda tunggangan yang disebut-sebut sebagai kuda termalas di dunia. Bara pun tidak heran kenapa kuda itu sekarang menghilang, mungkin kabur, tidak tahan dengan pemilik yang bukan saja galak, tetapi juga liar. Keparak-keparak di keraton bahkan berlaku lebih lembut dan kemayu.

Maka, alangkah gusarnya lelancur itu. Tatkala pergi mengasingkan diri ke Lok Maha untuk berlatih pedang, Kirana menampakkan diri seperti lahar yang keluar dari dalam bumi atau guntur yang terlontar dari bumantara.

“Bara!”

Bara mengabaikan panggilan itu. Ia sengaja menebah pedang ke tanah yang dipijak Kirana, sebagai isyarat bahwa nyawa gadis itu bisa saja terancam akibat tertebas oleh senjatanya. Tanah bergetar dengan bunyi decap memilukan. Namun, Kirana adalah tonggak berakar tunjang nan sukar dicabut. Gadis itu bergeming di tempat. Sepertinya, Bara sudah kehabisan kata-kata lewah untuk dimuntahkan sebagai buah kekesalannya pada Kirana. Kesabarannya sudah cukup dilela. Ia menujah pedang langsung ke wajah gadis itu. Kirana terpejam dengan mata pedang nyaris menyerempet leher dan menyisip di sela-sela rambutnya. Tatkala membuka mata, wajah Bara tampak penuh amarah hanya berjarak sejengkal darinya. Barulah Kirana mundur dengan perasaan jengah.

“Bagaimana kau tahu aku ada di sini?”

Lihat selengkapnya