Kau … sempurna.
Dersik samar berbisik menggerisik tengkuk. Kirana mengintip meneleng ke samping. Bara sawiji dalam tapanya, tampak tidak terusik sedikit pun oleh bisikan itu. Pertanyaan tebersit; apakah hanya telinganya yang mengindra? Kirana kembali merapatkan kelopak matanya yang tipis dan berurat, lalu berusaha memusatkan segenap pikiran dalam inti jemala hingga segala sesuatu di sekitarnya sirna.
Benih Petala ….
Bisik serupa dersik kembali terdengar. Memanggil mendayu. Bulir-bulir keringat mulai meluncur dari pelipis. Belum separuh malam ia genapi, salah satu aral yang diwanti-wanti oleh Bara sudah mulai menguji nyali. Kirana berusaha keras menepis suara-suara gaib yang gigih merongrong. Jika sampai dirinya melemah, apalagi menyerah, maka pupuslah usahanya untuk menempa ilmu di bawah ampuan Bara. Pemuda berhati besi itu tak akan mempan dirayu dengan cara apa pun.
Sungguh naas. Bisik itu makin kerap dan kentara. Kirana tergemap. Susah payah ditatanya napas seperti wejangan Bara. Setiap ujian yang menerpa bermaksud untuk memecah sawiji, salah-salah membahayakan diri. Ia tidak mau rubuh apalagi mati di tempat ini. Namun malang, sekukuh ia berusaha, godaan itu makin menggempur bak ombak ganas di segara. Makin lama, bisikan berubah menjadi lengking bercampur gelak, puspas bersama suara yang panggil-memanggil dan sengkarut gemerisik. Kebisingan di sekelilingnya sungguh menebah gelisah. Pada satu titik, Kirana goyah. Dorongan untuk membuka mata nyaris tak terbendung lagi. Tatkala sepasang tangan bertelapak kasar merengkuh pipinya, Kirana terbelalak.
Mendadak suara-suara itu hening. Suryakala bersinar di atas kepala. Di hadapannya, wajah Bara bercahaya dengan senyum tersungging di bibir berlengkung busur milik pemuda itu. Kirana pun meneleng ke sana kemari. Bingung. Ia berada di dalam air bersama Bara. Sementara, Lok Maha di belakang mereka.
“Tenanglah. Jangan takut.” Pemuda itu berujar lirih dalam nada lembut yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Kirana terjengkit karena sikap Bara justru menakutkan di matanya.
“Kau bukan Bara! Lepaskan aku!” Agak gentar Kirana menampik jemari Bara yang bertengger di kulitnya.
“Perhatikan baik-baik! Aku adalah Bara.”
Kirana benar-benar tidak paham mengapa dirinya mengapung di danau bersama pemuda itu. Bukankah seharusnya kini mereka sedang melakoni tapa bentala? Bara tidak berniat melepaskannya. Lengan pemuda itu turun merengkuh pinggangnya dan makin merapat padanya. Kirana nyaris tergelincir ke bawah permukaan air andai tangannya tidak lekas bertopang di bahu dan lengan Bara. Kirana jengah, kakinya nyaris tak bisa mengayuh, lantas baru ia sadari bahwa bagian bawah tubuhnya layuh tak berdaya.
“Apa yang kaulakukan?” sergah Kirana marah karena Bara malah menyeret dirinya makin ke tengah.
“Berusaha menolongmu, Nimas. Menyelamlah bersamaku.”
“Kau!”
Bara hanya menunjuk ke belakang sebagai sasmita peringatan. Samsara baru saja dimulai. Dari arah Lok Maha, sesosok raseksa berwujud trembesi mengguncang bentala setiap kali akar gergasinya terjulur merayap menjauhi pulau. Akar-akar itu menggeliat hidup mendebur membelah permukaan air, terus tumbuh menjari dan menjalar bagai terowongan rayap. Tinggal beberapa depa saja jaraknya dari mereka.
“Bara!” Tanpa pikir panjang, Kirana menghambur kepada si pemuda yang langsung menariknya turun ke bawah air. Hablur sebening lazuardi bertabur buih memenuhi pandangan Kirana. Pelan tapi pasti, bias cahaya di atas mereka menggelap. Kirana lantas mendongak menyaksikan kelindan bayang-bayang hitam makin liar di permukaan danau. Mereka terjebak dalam kegelapan, lalu gadis itu kehilangan sosok Bara yang tiba-tiba lenyap dari hadapan. Bibirnya bergerak berusaha memanggil nama pemuda itu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Kirana berusaha mengayuh sepasang kakinya yang kejur untuk membawa dirinya menjauh dari kegelapan akar. Namun, sia-sia saja. Ia tenggelam makin dalam bagai batu jatuh.
Samsara kedua telah menantinya. Napas kirana mulai terengah, dadanya kembang kempis susah payah. Kegelapan di bawah kakinya memadat dan separuh tubuhnya telah terbenam dalam tanah. Demikian cepat ia berpindah ke atas bentala dengan langit kelam bagaikan malam. Rembang cakrawala terbakar oleh bubungan asap kelabu. Api merah membara mengungkung saujana sebuah negeri yang dibumihanguskan. Kirana tak tahu di mana ini. Jerit dan tangis merebak menyumbat jumantara. Gelak tawa yang semula ia dengar, kembali lagi. Kirana membenci suara yang sungguh mengusik sanubari itu. Ia berusaha menutup kedua telinga, tetapi tangannya hanya tergantung di sisi tubuh. Sementara, suara bercampur baur makin memekakkan jemala dan memerihkan ulu hati. Kirana dipaksa untuk menyaksikan dan mendengarkan seluruh peristiwa yang lebih pantas disebut sebagai pembantaian.
Sebuah tengkorak melayang ke arahnya. Makin lama, makin banyak tengkorak melayang bagai hujan batu dari letusan gunung berapi. Perlahan, Kirana terkubur di dalamnya. Semakin ia memaksa tubuhnya bergerak, semakin kuat tumpukan tengkorak itu memasungnya. Salah satunya menggelinding dan berhenti tepat di hadapannya. Hal mengerikan mulai terjadi. Inilah samsara yang sejati. Daging merah keabuan tumbuh selapis demi selapis menutupi permukaannya. Benih-benih rambut lantas bermunculan mencuat menjadi gumpalan kasar dan lebat. Mulut makhluk itu berkeretak sejenak lantas meringis menampilkan kereseng kehitaman.
Jangan. Jangan, pekik Kirana dalam hati, tak ingin menyaksikan makhluk itu hidup. Sayang, malang tak dapat ditolak. Sepasang netra merah menyala terbuka dan seekor ahool bangkit di depan matanya. Tubuh sang siluman tumbuh; sepasang sayap kelelawarnya membentang lebar, lalu diikuti oleh kedua lengan dan tungkainya yang bertaji paksi. Kepalanya lantas menengadah ke langit diiringi oleh lolongan melengking membelah bumantara.
Darah Kirana tersirap. Si ahool membungkuk ke arahnya, lalu mendengus. “Benih Petala. Kau telah kembali. Sempurna.” Telunjuk bertaji tajam itu menangkup dagu Kirana, lalu turun menyusuri leher dan berhenti di atas detak jantung gadis itu.
Kirana gemetar hebat. Sekejap saja ia lupa akan wejangan Bara tentang napas.
Ahoool!
Siluman itu mengangkasa membawa sukma Kirana bersamanya. Gadis itu bisa menyaksikan tubuhnya yang perlahan menghilang di bawah sana. Makin lama, Lok Maha makin memudar hingga akhirnya lenyap di balik gemawan. Ahool itu memelesat makin tinggi. Lalu, sekelebat bayangan hitam bergerak menuju mereka. Seekor paksi raksasa dan sesosok pemuda menunggang di atasnya. Bara. Kirana tercekat. Matanya bisa melihat dengan terang-benderang, Bara sedang membidik gandewa berpendar cahaya ke arahnya. Jemparing ditembakkan, lalu terdengar lengkingan nyaring di atas kepalanya. Ahool tertembak di antara kedua mata. Cengkeramannya di tubuh Kirana mengendur dan terlepas. Ia jatuh. Terakhir kali yang Kirana ingat adalah Bara melompat dari paksi untuk menyongsong dirinya.
“Tidakkah kau mengingat kata-kataku? Apa pun yang terjadi, jaga pernapasanmu.”
Kirana membuka mata, lalu mengangguk lemah. Ia telah kembali ke Lok Maha dan kini sedang berada dalam dekapan pemuda itu dengan separuh tubuh hingga ke dada terbenam dalam tanah. Kirana masih berada dalam laku tapa bentala. Tatkala Bara bermaksud menariknya untuk membebaskan diri, Kirana menggeleng tegas. “Biarkan aku menyelesaikannya,” tekad gadis itu pantang mundur. Sorot mata Bara berdenyar sesaat dan ia kelihatan enggan memberi restu. Namun, Kirana tetap bersikeras dan mendorong dada pemuda itu agar meretas jarak darinya.
“Aku tidak akan berhenti sekarang!”
Bara mengulas seringaian sinis. “Makin lama, akan makin sulit hingga dirimu makin lemah. Nyawamu taruhannya.”
“Aku masih sanggup. Percayalah! Dan aku tidak akan sebodoh itu mengulangi kesalahan dua kali.”
Bara pun mendengkus gusar. “Aku tidak akan menolongmu lagi lain kali!” Dasar gadis keras kepala. Tidak keberatan dirinya bakal celaka. Namun, ia tidak kuasa mencegah keteguhan niat Kirana untuk menempa jiwa kesatria.
***
Penggawa sirna, segara membara, Lok Maha persemaiannya.
Kirana mengulang-ulang baris itu tanpa bosan sambil berbaring menatap gemawan berarak di angkasa. Belakangan, mimpi tentang peristiwa di hutan semakin sering menyambanginya. Di tengah keinginannya untuk pergi ke kotaraja, isi sumpah yang terpatri dalam benak amatlah melalaikan. Ia malah berputar-putar di tempat ini untuk menempa diri menjadi pribadi yang sang ayahanda pun tak bakal menyangka. Segalanya dimulai semenjak ia dan Bara kerap mencuri waktu berdua pergi ke Lok Maha. Nyaris setiap hari tanpa sepengetahuan siapa pun. Bara ingin melatihnya secara rahasia dan tak ada tempat yang lebih baik daripada pulau ini. Hanya Datu Harung dan Datu Arai yang mengetahui perihal ini, tetapi kedua pria itu diam saja seolah bersepakat. Keduanya seakan bisa membaca apa yang tengah terjadi dan tak berniat mengusik.
Kirana ingat betul tatkala Datu Arai sendiri yang menjemput mereka ke Lok Maha selepas malam tapa bentala. Pria itu berpura-pura tidak terkejut melihat dirinya muncul bersama sang cucu. Keadaannya saat itu tidak baik-baik saja. Dengan tertatih, ia dipapah oleh Bara.
Pria itu kemudian seakan menutup mata pada mereka yang duduk bersisian dalam perahu. Dirinya bahkan bertelekan kecapaian di bahu Bara. Entah apa yang tebersit di benak pria itu kala menyaksikan pemandangan yang tentunya tidak biasa. Datu Arai tidak bertanya apa pun hingga menginjak daratan hingga sebuah permintaan dari Bara menggugahnya.
“Kakek, izinkan para pandai besi untuk membuat pedang.”
Sorot sayu Kirana tertumbuk pada benda yang bersandar di sisi Bara. Pedang pusaka milik sang kakek yang dipinjam oleh Bara, satu-satunya di Petala.