Jendela di salah satu bilik rumah panggung Angsana terbuka. Seorang dara jelita duduk mencangklong di tepian. Wajah elok menentang memantulkan bias arunika di akasa Lok Maha, sedangkan hidung bangirnya kembang kempis mengindra halimun berkelindan bak gemawan pada permukaan danau. Lukisan adiluhung di hadapannya malah membangkitkan matra seorang pemuda serta peristiwa menggempur rasa tadi malam. Ragasukmanya bagai dihempas bena, lalu terbenam ke kedalaman samudra.
Jeri. Lentik jari Kirana tertambat pada ranum kelopak mawar wedana. Masih tersisa selarik denyar kecupan Bara, tak sudi melepasnya menghela sejenak. Masih meremang pula, betapa renjananya dirisak oleh debur asmaraloka baharu. Samsara berkemul, cita rasa melela darah belia sang dara. Bara berhasil menyadarkan Kirana akan inti perbedaan mereka, sekaligus menumbuhkan rasa cela pada seorang pria.
Lalu, Bara memintanya datang ke Lok Maha hari ini pada titimangsa terakhir. Serejang dada Kirana berdegup kencang. Gamang membekap sukma, terlampau gentar untuk datang. Dirinya takkan pernah memandang Bara dalam cara yang serupa. Akan tetapi, jiwa kesatria Kirana memantang lari dari si pemuda. Ah … Kirana resah. Jadilah ia bersemayam dalam kamar, enggan keluar hingga siang mencapai rembang. Sampai suara Massaya memanggil, Kirana jengah berlewah tingkah. Ia beranikan diri bertanya pada wanita muda itu. “Kapankah Datu Harung akan kembali?”
“Tak lama lagi,” jawab Massaya menyelisik wajah gadis itu. “Apa kau mau pergi diam-diam lagi, Kirana? Sebenarnya, ke mana kau selama ini?” Massaya agaknya heran sang ayah selama ini menutup mata atas tindak-tanduk Kirana yang kerap menghilang tanpa sebab. Bahkan, tak jarang pulang selepas petang.
“Anak perawan tak boleh pergi hingga sandyakala, Kirana. Nanti kau diculik siluman!” ancam Massaya tak bosan-bosan. Wanita muda itu tak perlu berlama-lama menasihati Kirana karena ia kemudian pergi menyusul Datu Harung ke dermaga untuk membantu sang ayah. Belum tuntas kiranya Kirana membalas budi sang tuan rumah. Namun, tetap bertekad pergi. Ia putuskan untuk menerima tantangan Bara. Tinggal selangkah lagi maka sempurnalah ilmu kanuragan yang diturunkan kepadanya.
***
“Nimas … kusangka kau tidak akan datang.” Bara berdiri kokoh di puncak bukit Lok Maha dengan tangan kosong. Tiada gandewa ataupun pedang yang biasa tersampir di bahu pemuda itu kala menyambutnya dalam latihan. Bahkan, tiada pula sebilah belati yang biasa terselip di balik stagen.
“Aku sudah menunggumu seharian dan kita kehilangan banyak waktu.” Bara seolah menyalahkan dan menyongsong Kirana dengan cepat. Pemuda itu memintanya mengangsurkan tangan.
“Apa yang akan kaulakukan?” Kirana tercekat dengan gerak-gerik Bara yang terkesan buru-buru. Bukannya meminta berduel, Bara kelihatan bersemangat untuk segera menyudahi wiraga mereka dengan berjabat tangan. Kirana mafhum, sandyakala sedang bergulir cepat di ufuk barat. Lembayung semakin menggelap manakala suryakala lengser ke peraduan. Kehadirannya sangat terlambat. Namun, bukan sifat Bara untuk membiarkannya lolos begitu saja dari latihan. Syak wasangkanya pun merajalela ketika Bara justru merengkuh pinggangnya dalam dekapan.
“Jaga sopan santunmu, Bara! Jangan bersikap kurang ajar seperti tadi malam!” umpat Kirana ketus seraya tangannya terentang ke dada pemuda itu agar tidak mendekapnya lebih erat.
“Apa yang kaubicarakan, Nimas?”
“Jangan berpura-pura lupa, Bara!” Kirana merasa dipermainkan. Wajahnya bersemu. Kemudian, semburat merah di sekujur pipi dan telinganya makin menyala tatkala Bara mencondongkan wajah ke arahnya. Rupanya pemuda itu mengundangnya ke Lok Maha dengan niat mengulang kembali perbuatannya. Amarah Kirana menggelegak tiada kira. Tangannya pun melayang. Namun, Bara menangkap dan menarik tubuhnya lebih rapat dengan kasar. Darah Kirana serentak bergemuruh dan tubuhnya panas oleh hawa penuh renjana. Tidak. Ia tidak boleh terhanyut.
“NIMAS!”
Kirana mendengar teriakan Bara memanggil dirinya lamat-lamat. Kirana menegang, lalu meneleng perlahan hingga mendapati sesosok pemuda di atas sampan yang sedang bergerak mendekat ke Lok Maha. Sementara, Bara yang ada di depannya mulai menjelma memperlihatkan wujud asli. Bulu-bulu kelabu kehitaman tumbuh cepat di sekujur badannya dan matanya bersinar merah menyala. Serentak gadis itu menebah siluman di depannya dengan sekuat daya. Berhasil membebaskan Kirana sesaat, lalu makhluk itu menggelepar sebelum berguling bangkit dan merentangkan sayap lebar. Angin kencang menerpa Kirana dan membuat gadis itu tersungkur bagai pohon tumbang. Si siluman melompat tangkas ke atasnya, lantas mencengkeram kedua lengannya dengan jemari bertaji. Barisan taringnya menggeram mengancam.
“Nimas!”
Bara telah dihadang oleh akar sulur gergasi yang mendadak muncul di sekeliling Lok Maha. Ia berlompatan gesit di antara kulit-kulit kayu keras dan tajam yang mendadak hidup dan beringas.
“Hei, siluman!” maki Bara pada makhluk yang kini mengangkat Kirana ke jumantara. Bara membidik gandewa ke arah siluman, tetapi makhluk itu malah menjadikan Kirana tameng. Jeritan sang gadis pun membahana di langit sandyakala karena jemparing menembus lengan kirinya tanpa ampun. Bara terkesiap atas kecercobohannya. Makhluk itu ternyata punya kekuatan sekaligus akal pikiran untuk mengelabui. Sayang, dirinya lantas lengah. Gandewanya direbut oleh akar sulur gergasi, lalu dicampakkan ke tengah danau. Mata pemuda itu terbelalak karena siluman kera kembali berhasil menangkap Kirana dan membawanya terbang menuju Rimba Hitam.