Bara dan Kirana disambut seloka. Tatkala kembali ke Angsana sebelum suryakala terbit, mereka malah dihadang di jalan masuk perkampungan. Wajah-wajah menatap nyalang. Orang-orang itu tidak banyak bicara, hanya meminta keduanya mengikuti ke suatu tempat. Mereka digiring ke sebuah rumah paling besar, pesanggrahan Datu Arai dan Danum Marsiya.
“Kakek, Nenek, ada apa ini?” tanya pemuda itu bingung kepada mereka. Sementara, Kirana berdiri merapat di belakang dirinya seolah bersembunyi. Gadis itu tertunduk sepanjang perjalanan karena perlakuan yang mereka terima terasa memalukan.
Datu Arai menghela dan menggeleng. “Kelakuan kalian berdua sudah demikian meresahkan. Seluruh kampung telah mengetahuinya, Anakku.”
“Apa maksud Kakek? Kakek berbicara seolah kami berlaku tidak pantas!” Suara Bara meninggi akibat tersinggung.
“Di kampung, perjaka dan perawan pergi berdua tanpa sepengetahuan adalah aib. Kami tidak tahu apa saja yang kalian lakukan selama ini berdua.”
“Maaf, Empu. Saya meminta Bara untuk melatih saya ilmu kanuragan. Tidak lebih. Sungguh.” Kirana mencoba membela diri dengan penuh rasa malu.
“Bukan tempatmu untuk bicara sekarang, Kirana.” Tatapan Datu Arai menghunjam. “Dan kalian berdua, dengarkan apa yang akan kukatakan ini baik-baik. Aku telah mendapat wangsit tadi malam, kalian berdua akan dipersatukan dalam sebuah Esthi Agung jika ini memang kehendak dari Petala!”
Manik mata Kirana berpijar. Tak cukup rasa malunya, kini ia harus menerima sebuah keputusan sepihak dari tetua Angsana. Ia mencoba mencari mata Danum Marsiya untuk meminta bantuan, tetapi wanita paruh baya itu mengelak membuang tatapan. Sepertinya, keputusan mereka sudah bulat.