Petala

Ravistara
Chapter #16

Nawawiwara

Suluk-suluk menari lincah dari bibir-bibir pesinden, diikuti oleh dayang-dayang muda, bersambut bergema memenuhi atap dan lorong-lorong di Nawawiwara. Kadang girisa tangkas memungkas jeda, kadang sendon meliuk menggetar sukma. Pangeran Satya Sekar diam-diam sering mengikuti latihan para pesinden muda yang dipilih khusus dari dayang-dayang berbakat seluruh negeri. Tak semua bisa masuk ke dalam jajaran ini. Sekalipun mereka adalah keturunan raden atau rara, karena para dalang percaya bahwa pesinden adalah bagian ruwat agung yang tak boleh menuai kesalahan sejengkal pun.

Seorang dayang tergemap ketika dilihatnya sang pangeran tampak mengintip dari celah pintu sasana yang terbuka. Namun, Pangeran Satya Sekar sigap memberi sasmita agar dayang itu tutup mulut akan keberadaannya. Sang pangeran tak mengharapkan perlakuan istimewa saat menonton latihan seperti ini atau para dayang akan merasa risi dan sungkan. Ia ingin menyaksikan pertunjukan yang murni dan mengalir, bukan serbasempurna seolah telah diatur sedemikian rupa hanya untuk melayani kesenangan adiwangsa macam dirinya.

“Punten, Yang Mulia. Apakah Anda ….”

“Saya sebentar saja, Dayang. Biarlah tak perlu ada yang tahu, termasuk Roro Kinaras.” Pangeran Satya Sekar lekas menyela niat sang dayang. Dayang belia yang malang itu hanya berdengap untuk kesekian kalinya menerima senyum wibawa penuh pesona dari pangeran seelok dirinya. Setiap kepala di Nawawiwara telah mafhum bahwa ia adalah seorang yang tak hanya elok dipandang, tetapi juga berbudi pekerti menawan. Nyaris semua yang mengenal dirinya memuja, sedangkan musuh pun segan kepadanya. Dayang yang beruntung bertegur sapa dengan dirinya pagi itu lantas mendapat delikan tajam dari Roro Kinaras, wanita sepuh pengampu para pesinden. Termangu di depan pintu bagai melihat danyang, kelakuannya tertangkap oleh si pelatih yang tidak bertepa selira dengan satu pun cela. Maka, sang dayang pun hanya mampu merasa kehilangan kala sang pangeran pujaan menghilang tatkala dirinya berbalik. Pangeran itu seperti angin, cepat berembus, lalu menghilang tanpa jejak kecuali samar.

“Kau bicara dengan siapa?”

“Tidak ada, Roro,” jawab sang dayang takut-takut.

“Jangan kebanyakan melamun sendirian. Tempat ini punya mata-mata yang bersembunyi di balik dinding, Cah Ayu!” Roro Kinaras hanya bermaksud menakuti, tanpa ia sadar kalau kata-katanya mungkin mengandung sedikit kebenaran yang tersirat di balk topeng.

“Kak Satya!” Diam-diam, ada seorang gadis menangkap basah tindakan sang pangeran. Larasati tersenyum gelabah menyapa sang pangeran yang tak urung gelagapan sekaligus geli tindak-tanduknya tak luput dari waskita dara belia itu. Ia dan Larasati memang bersepakat untuk tetap memanggil dengan sebutan bersahaja sebagaimana mereka bertemu semula di Tapak Siring. Pangeran Satya Sekar merasa nyaman karena ada seseorang yang bisa diajak bicara dan bersikap apa adanya tanpa peduli kasta. Ia merasa bebas laksana lelana brata.

“Matamu tajam sungguh, Adik!”

Larasati berjalan cepat agak di belakang sang pangeran untuk tetap berperilaku wajar dalam pandangan orang-orang yang kebetulan melintas bersisian dengan mereka.

“Seorang pangeran berpenampilan merak sepertimu, sebenarnya mudah terlihat di mana saja, Kak Satya.”

Pangeran Satya Sekar berdecak oleh perumpamaan yang dikemukakan oleh Larasati. Tak henti-hentinya gadis itu memelesatkan kekaguman yang sungguh kentara. Justru lebih nyaman karenanya. Tak perlu berpura-pura seperti para gadis yang malu-malu berlela menarik perhatian.

“Jadi, apa yang membuatmu mencariku ke sini? Apakah tugasmu sudah selesai pagi ini?”

Larasati cemberut mendengarnya. “Aku bosan,” jawab gadis itu polos.

“Kak, tak bisakah kau pindahkan saja aku dan Kak Mayang ke tempat lain? Aku bosan melayani Putri Citraloka yang rewel dan manja.”

Tawa Pangeran Satya Sekar nyaris tersembur keluar. “Tidakkah kau senang hati menjadi kanca yang melayani putri mahkota?”

“Sudah cukup Larasati ini menjadi abdi seumur hidup Kak Kirana yang lakonnya bak tuan putri,” sahut gadis itu bermuram durja.

“Bukankah kamu merindukannya?”

Gadis itu hanya mengangguk pias. Selain itu, ia juga merindukan Sendayu. Namun, Larasati tak pernah menceritakan bagian ini kepada sang pangeran. Merenungkan ini, Larasati pun penasaran. Ia mendadak melompat menghadang langkah Pangeran Satya Sekar. “Nah, Kak. Apa kau juga punya seseorang yang kaurindukan?” Iseng, gadis itu bertanya.

Sang pangeran tersenyum dan menghela. “Tentu saja ada.”

“Sungguh? Siapa?” Bola mata gadis itu berpijar kartika makin penasaran.

“Permaisuri Nyi Alu Respati.”

Sadar bahwa sang pangeran bicara serius saat menyebut nama sang ibunda, Larasati tak tega utnuk menggoda. Pangeran Satya Sekar belum lama kehilangan. Sungguh tak peka jika ia tak paham akan perasaan pemuda itu.

“Kau sendiri? Bagaimana dengan ibumu? Pasti dia merindukan kalian sekarang, lebih-lebih kalian pergi tanpa pamit dari rumah.”

Lihat selengkapnya