Petals in the Abyss

MokkaaCinoo
Chapter #2

✦ He Should Be Mine ✦

Angin sore berhembus kencang, dedaunan berjatuhan ke atas kepala dan pangkuanku. Duduk termenung hanya ditemani dengan tumpukan buku yang sudah tamat kubaca. Ironis sekali, buku-buku penuh dengan kisah cinta, tapi aku di sini hanya sebagai penonton.

Sesekali pandanganku melirik ke sana ke mari, tapi yang bisa kulihat hanya sepasang kekasih bergandeng tangan, tertawa tanpa peduli. Rasanya seperti ejekan halus untukku.

Aku menghela napas. “Membosankannya, selama lebih dari 190 tahun aku hidup, tidak ada hal menarik untukku coba,” gumanku, setengah kesal.

Jemariku sibuk membolak-balik lembaran demi lembaran tanpa benar-benar membaca isinya. Huruf-huruf yang terpampang hanya sekadar kabur di mata, tak lebih hanya untuk menyibukkan diri.

Seharusnya ini menjadi panggung tebar pesona, tapi nyatanya percuma saja aku berdandan rapi tetapi tidak ada yang melirik. Panggung pesona macam apa ini?

Lalu, tepat saat diriku larut dalam pikiran yang bergemuruh, sebuah bayangan jatuh di sisiku. Tinggi, tegak, dan membuat napasku tercekat.

Aku mendongak, menampilkan seorang pria yang berdiri di sana. Berbalut jubah hitam dengan penutup kepala yang membuat wajahnya tidak terlihat jelas.

Mata kami bertemu, degup jantungku menjadi kacau. Tapi ada yang aneh dengan tatapannya. Ada kehampaan di sorot ungu pucatnya. Warnanya seakan mendukung kekosongan dalam dirinya.

Aku memberanikan diri. “Hai?” sapaku, dengan mata yang masih tertuju padanya.

Ia diam selama beberapa detik, tetapi tatapannya berubah melunak. Lalu bibirnya yang tipis bergerak pelan. “Hai.”

Aku terperanjat, tak disangka akan dibalas olehnya. Suaranya berat dan sedikit serak, seakan dia jarang berbicara. Kalau dilihat dari penampilannya, ia seperti seseorang yang tidak terlalu peduli dengan sekitarnya.

Kalau boleh jujur tampilan luarnya memang mengerikan, tetapi wangi di tubuhnya cukup ... menenangkan. Aku tidak merasa ada ancaman sedikit pun.

Aku tersenyum tipis, lalu bertanya, “Apa Anda sedang sendiri?”

Sejujurnya, agak mengerikan, sih. Bagaimana tidak, melihat keberadaannya yang seakan mengancam dengan tubuh yang dua kali lebih besar dari pada tubuhku. Tapi anehnya, tidak ada bau yang mengancam, jadi aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.

'Beri kesan yang manis, Lucy.'

Ia terdiam cukup lama. Ah, tidak, sangat lama. Apa aku telah mengambil langkah yang salah? Ah, lancangnya diriku.

“Iya, teman-temanku sedang tidak ada di sini,” jawabnya akhirnya, suaranya terdengar berat sekaligus menyiratkan kesedihan.

Sebuah anggukan kecil terlepas, aku berpikir sejenak. “Ingin … saya temani? Jika Tuan tidak keberatan,“ tawarku, dengan senyuman yang hangat.

Telapak tanganku menepuk tanah kosong di sampingku, memberikan isyarat halus untuknya duduk.

Lagi-lagi hening, ia hanya menatapku dalam diam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Semakin kuperhatikan, matanya terlihat menawan. Sangat menawan hingga berhasil menjeratku.

Setelah sekian detik berlalu, akhirnya ia bergerak lalu duduk di atas rumput yang empuk, di sampingku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, sayang sekali aku tidak bisa membaca pikiran seseorang.

“Sedang apa Anda di sini?” tanyaku, mencoba untuk mencairkan suasana. “Mencari udara segar? Menjernihkan pikiran dari pekerjaan yang tiada habisnya? Atau hanya ingin saja?”

Dengan cepat aku langsung menutup mulutku. Aku terlalu banyak memberikan pertanyaan padanya. Aku mengalihkan pandangan. “Maaf,” gumanku, entah bisa didengar olehnya atau tidak.

“Entahlah. Mungkin hanya diam di sini sendirian tanpa melakukan apa-apa,” sahutnya datar. Sepertinya aku sudah membuatnya merasa tidak nyaman.

Jubahnya terlihat lusuh, seperti tidak pernah dibersihkan selama lebih dari setahun. Apa dia seorang petualang? Atau pemburu?

“Kalau Nona? Kenapa Nona sendirian saja di sini, tidak ada yang menemani?” tanyanya balik, mata kami bertemu kembali.

Suaranya mencair, tidak terdengar dingin ketimbang sebelumnya. Sorot matanya juga memancarkan sedikit cahaya, sorot mata yang penuh dengan kelembutan.

'Sepertinya aku sudah salah menilai dirinya.'

“Ahh ... itu ... sebenarnya aku juga tidak tahu harus apa di sini. Mungkin hanya mencari udara segar dan menghabiskan waktuku?” Terkekeh pelan, sangat tidak disangka ternyata aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang begitu sederhana.

Ia mengangguk pelan, lalu tatapannya mengarahkan ke depan. “Apa Nona sering ke sini?”

Aku memandang ke bawah sembari memainkan rerumputan, berpikir sejenak. “Tidak juga. Kedatanganku di sini bisa dihitung jari.” Aku mencabuti beberapa bunga liar yang tumbuh di sekitarnya.

“Kalau begitu, apa Nona tidak keberatan kalau aku mengajak Nona untuk pergi ke sesuatu tempat? Tidak jauh dari sini,” ujarnya.

“Memangnya tempat seperti apa itu?” Tanyaku dengan penuh penasaran. Karena baru saja mengunjungi taman ini, jadi tidak terlalu paham dengan apa yang ada di sini.

“Nona akan tahu nanti,” balasnya singkat.

Aku mengangguk. “Boleh, aku ikut saja,” balasku, ditambah dengan senyuman manis yang terukir.

Pria itu lalu berdiri, ia memandu berjalan di depan. “Ah, sebentar—” Dengan sedikit terburu-buru aku memasukkan buku-buku yang tergeletak ke dalam tas lalu menyusulnya dari belakang.

'Duh, bawa buku sebanyak ini repot juga.’

Sepertinya aku harus membiasakan diri berjalan dengan kakiku, bukan hanya melayang-layang di atas udara. Tapi sungguh berjalan dengan kaki benar-benar menguras tenaga.

Tersentak, ia tiba-tiba saja berhenti berjalan lalu berbalik untuk menghadapku. Aku seperti bisa merasakan tatapan tajamnya dari kejauhan.

Aku mulai mempercepat langkahku. Rasanya semua barang yang kubawa akan menjadi lebih ringan kalau aku melayang, bukan berjalan.

Lihat selengkapnya