⧼ Kediaman Arty ⧽
Mangsaku yang satu ini, ternyata bukan mangsa biasa. Awalnya aku hanya berpikir kalau mungkin ia adalah orang asing yang tersesat dan tidak punya arah. Ternyata aku salah besar.
Aku mengeratkan genggamanku pada jaket milik Arty yang menutupi tubuhku. Jangan sampai mereka mengira kalau aku adalah seorang pengemis.
Kisah hidupku benar-benar seperti novel romansa yang sering kubaca. Gadis miskin dan bangsawan kaya raya. Apakah kejadian ini bisa dibilang kalau aku beruntung?
Arty lalu memanggil salah satu pelayan, pelayan itu langsung menghampirinya. Rambutnya yang berwarna kuning keemasan dikepang dua, lalu terdapat frekles tipis di sekitar pipinya, ia terlihat masih muda.
“Tolong antarakan Lucy ke kamar, lalu gantikan pakaiannya dengan yang baru,” perintahnya yang dibalas dengan anggukan oleh pelayan itu.
Arty lalu berbalik. “Kau ikuti Leone, aku akan menunggu di ruang makan nanti. Mengerti, Nona Kecil?” Arty tersenyum lalu mengusap kepalaku pelan.
Aku hanya membalas dengan anggukan kecil. Aku tidak bisa berkata-kata lagi, sentuhan hangatnya membuat dadaku berdebar. Rasanya aku ingin melompat kegirangan di tempat, tapi aku tidak mau harga diriku hancur seketika.
Pelayan muda itu menghampiriku. “Mari ikuti saya, Nona.” Sang pelayan lalu berjalan di depanku, mengantarku hingga sampai ke salah satu pintu kamar.
Saat pintu kamar dibuka, lututku menjadi lemas. Selama hampir dua abad, aku tidak pernah yang namanya masuk ke kamar semewah ini.
Pelayan itu menunduk dengan sopan. “Nona bisa melihat-lihat dahulu selama saya menyiapkan peralatan mandi untuk Nona.”
Aku menelan ludah, gugup. “Ah, iya, terima kasih ….” Aduh, siapa namanya tadi? Aku lupa!
“Leone, Anda bisa memanggil saya Leone, Nona,” ujar pelayan itu menunduk seraya mengenalkan dirinya.
“Baiklah, Leone.” Aku tersenyum ramah, lalu Leone menunduk kembali dan langsung melengos pergi.
Jujur saja aku sudah merasa sedikit kedinginan dan lengket, syukurlah jaket Arty lumayan meringankan penderitaanku. Sambil menunggu, aku melihat-lihat ke setiap sudut kamar.
Tempat tidur yang dua kali lebih besar dari pada milikku, dengan tirai putih transparan menjuntai di setiap sisinya. Dengan kamar bernuansa biru dan krem dan ornamen emas yang menghiasi seisi kamar.
Terdapat rak buku kecil di sebelah kanan ruangan, sepertinya berisi buku-buku yang cukup menarik. Apa di sini ada perpustakaan? Aku mau lihat!
Di samping rak buku terdapat salah satu lukisan dari pelukis terkenal—mungkin—juga menempel di dinding. Lukisan itu ... oh. Apa aku boleh menyingkirkannya?
“Nona, bak mandi sudah siap,” ujar Leone dari belakang yang berhasil membuatku terlonjak kaget.
Aku terseyum canggung. “Baiklah, Leone. Umm ... sepertinya saya bisa melakukannya sendiri—”
“Ikuti saya, Nona,” potong Leone. Ia langsung pergi ke salah satu ruangan di kamar itu. Mau tidak mau aku ikut saja, deh.
Kamar mandi. Ah, sudah, lah. Aku akui Arty memang orang yang sangat kaya.
Jangan tanya bagaimana dalamnya. Kolam mandi yang besar dengan banyak kelopak bunga bertebaran di atasnya, asap yang mengebu karena panasnya suhu air yang terasa sangat menenangkan. Leone lalu menghampiriku, ia melepas jaket yang mengantung di pundakku. “Izinkan saya, Nona.”
“Eh? Tunggu—”
Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, Leone langsung lanjut melepaskan gaunku yang basah kuyup.