“Nona Kecil? Kau sudah siap?”
Aku menoleh, tampak Arty yang terlihat sangat berwibawa. Mantelnya yang berwarna ash blue gelap dengan bayangan slate gray jatuh rapi hingga lutut. Bagian dalamnya berupa rompi charcoal dengan kancing perak redup dipadukan dengan kemeja berkerah rendah.
Di lehernya, terdapat pin kecil mawar perak dan simbol keluarganya. Ditambah sarung tangan miliknya yang dibordir keperakan di ujung lengannya, menambah kesan elegan dan misterius khas miliknya.
Untuk beberapa detik, diriku sedikit terpana memperhatikannya dari atas kepala sampai ujung kaki. Apakah dia sungguh pangeran tampan yang akan membawaku jalan-jalan sore ini? Apa hal menarik yang akan dia tunjukkan untuk hari ini? Ohh, memikirkannya saja sudah membuat semangatku membara.
“Nona Kecil?“ Arty membungkuk, menyamakan tingginya dengan diriku yang sedang duduk manis di depan meja rias sembari memandang pantulan diriku di seberang.
Leonne membiarkan sebagian rambutku tergerai bebas, sementara di sisi lainnya diikat dengan dua pita kecil yang selaras dengan gaun yang dipakai. Poni rata menutupi dahi, membingkai wajah dengan lembut. Memberikan kesan manis, tetapi tidak kekanak-kanakan.
Aku mengedip dua kali, sadar kalau sudah menatapnya terlalu lama. “Oh, ya? Maaf, aku sedang sedikit kurang … fokus.” Dengan cepat mataku melirik ke sana ke mari mencari-cari barang yang terlihat menarik, seperti vas putih dengan corak bunga berwarna ungu di sebelah sana.
“Kereta kuda sudah menunggu di depan, bagaimana dengan Nona Kecil? Sudah siap?” Arty mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri dari atas kursi.
Kuraih tangannya, kebetulan Arty datang di waktu yang tepat. Leonne baru saja selesai memberikan sedikit detail untuk rambutku. “Tentu saja sudah selesai.”
Leonne memakaikanku gaun bergaya aristokrat klasik. Lapisan luar dari kain abu-abu legam bertekstur lembut menjuntai anggun, dihiasi renda dan pita kecil berwarna rose beige. Lalu ada warna dusty rose yang mendominasi bagian bawah gaun. Tampak seperti mawar yang bermekaran indah, bukan begitu?
Aku sangat takjub dengan hasilnya. Leonne memang harus diakui sebagai designer terbaik sepanjang masa. Ia sangat pandai memilihkan gaun yang cocok untukku. Apakah para pelayan di sini begitu perhatian dengan nona-nonanya? Bahkan mereka bisa mengetahui selera mereka hanya dalam seperkian detik.
Aku melepas genggamannya lalu berputar pelan hingga gaun yang menempel di tubuhku menggembang, setelah itu membungkuk di hadapannya. “How do I look?”
“Perfect.” Arty membalas dengan senyum simpul, ia lalu menarik tanganku mendekat ke bibirnya lalu mengecupnya pelan. “Little girl is the most beautiful girl I know.”
Detak jantungku meningkatkan. 'Apa dia benar-benar lelaki misterius yang kutemui di taman kemarin!?'
Arty merespon dengan kekehan pelan, apa dia menyadarinya!? Tunggu dulu!
“Kereta kuda sudah menunggu kita,” celetuk Arty yang membuat lamunanku pecah, ia langsung berjalan sembari menuntutku keluar menuju bagian depan kediamannya.
Di luar sana sudah tersedia kereta kuda yang akan membawa kami ke taman, kereta kuda yang sama saat membawaku kemari. Ahh, mengingat kejadian kemarin membuatku sedikit malu.
Seorang kusir membukakan pintu untuk kami, aku naik terlebih dahulu lalu disusul oleh Arty. Tidak perlu menunggu lama kereta kuda langsung melaju membelah desa kecil yang dipimpin oleh Arty.
Terpana, pemandangan di luar terlihat sangat memanjakan mata. Karena kemarin tidak sempat melihat keluar jendela karena terlalu terpaku dengan taman di dalam, sampai-sampai tidak memperhatikan apa yang ada di luarnya.
Dari luar jendela, tampak banyak perkebunan bahkan gunung-gunung yang tertutup awan. Indah. Melihat gunung-gunung menjulang tinggi membuatku ingin mencoba mendakinya.
'Ternyata di luar kediaman terdapat banyak hal menarik juga.'
“Kau suka dengan pemandangannya?“ Arty menyela, membuatku tersadar dari lamunanku.
“Oh? Ah, iya. Apa Arty yang mengurus semua ini? Semua perkebunan … ini? Arty yang mengaturnya?” tanyaku dengan mata yang sudah memandang orang di depanku. Ia terlihat sangat gagah dengan Setelannya yang menawan.
'Rasanya mataku akan dimanja habis-habisan hari ini.'
Arty menggeleng. “Tidak juga, ada banyak warga yang ikut membantu mengurus wilayah yang luas ini. Begitupula dengan yang mengatur, aku tidak mengaturnya secara menyeluruh. Apa Nona Kecil berpikir kalau aku bisa mengurus semuanya sendiri?” tanya Arty dengan sebelah alisnya yang terangkat dan tangan yang menompang pipinya.
“Yahh, mungkin? Karena Arty termasuk orang-orang yang hebat, jadi bisa saja, kan?” Aku menyandarkan daguku ke telapak tangan mengikuti postur tubuhnya dengan pandangan yang masih sama.
Arty hanya terkekeh pelan. “Begitu, ya? Ketimbang mengurus wilayah sebesar ini, aku lebih fokus ke hal lain,” tuturnya.
Entah salah lihat atau tidak, tapi wajahnya berubah masam. Sepertinya ada sesuatu yang ia pikirkan, tapi … ah, itu bukan urusanku juga.
“Ah, omong-omong ke mana kita akan pergi? Ke taman yang sama dengan kemarin?” tanyaku mencoba untuk mengganti topik yang lebih ringan, mataku melirik ke sana ke mari untuk mencari sesuatu yang bisa kujadikan topik selama perjalanan.
“Tidak, kita akan pergi ke tempat yang lebih seru. Kau akan tahu nanti, Nona Kecil,” jawab Arty dengan senyuman yang tersungging di wajahnya. Sepertinya ia punya rencana yang lain.
“Aku yakin Nona Kecil belum pernah ke sana,” Lanjut Arty dengan senyuman mencurigakannya.
Aku cemberut. “Tempat seperti apa itu?” tanyaku lagi dengan penuh rasa penasaran.
“Kau akan tahu nanti,” jawab Arty dengan santainya. “Nikmati saja dulu perjalanannya, Nona Kecil,” balasnya ringan.
“Ayolah ... berikan aku sedikit petunjuk saja, ya?” Aku memelas.
Tetapi setelah itu Arty tidak menjawab pertanyaanku sama sekali. Ia masih terus mempertahankan senyumannya lalu memfokuskan pandangannya ke luar jendela.
‘Menyebalkan!’