Petals in the Abyss

Amorrette Meara
Chapter #8

✦ Picnic Up to the Cloud ✦

Angin berembus kencang dari jendela, membelai lembut setiap helai rambutku. Mataku tertuju pada Arty yang tengah bersandar, tatapannya sayu. Aku khawatir ia memaksakan dirinya hanya untuk meladeniku.

Perlahan matanya tertutup sempurna. Aku mendekat ke arahnya, napasnya teratur dan tenang. Ternyata benar, ia kelelahan. Kusibak rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Lalu berbisik di sampingnya, “Arty, sebenarnya—”

“Nona, pesanan Anda sudah datang!” Ucapanku terpotong dengan seruan dari Tuan Kentang.

Aku menoleh. “Oh, Tuan Kentang? Terima kasih, maaf telah merepotkan Anda.“ Aku menerima nampan dengan secangkir teh dan kopi di atasnya. Lalu ada dua kue mangkuk yang dibungkus dengan pembungkus plastik dan pita merah muda yang mengikatnya.

Arty lalu terbangun dari mimpi singkatnya, sangat singkat. Ia membenarkan posisi duduknya, mencoba untuk mengumpulkan seluruh nyawa yang lepas dari raganya.

“Pesannya sudah tiba? Kalau begitu bagaimana kalau kita jalan-jalan ke luar? Aku jamin Nona Kecil akan sangat menyukainya,” celetuk Arty, ia beranjak dari atas sofa lalu mengambil alih nampan yang ada di tanganku. “Biar aku saja.”

Arty lalu berjalan keluar kafe, aku mengekorinya dari belakang. Kami sedikit menaiki tangga menuju ke suatu tempat, lebih tepatnya seperti taman bagian belakang. Harus kuakui tempatnya cukup luas, memang cocok untuk dijadikan tempat wisata.

Setelah menaiki beberapa anak tangga, di sana sudah terdapat sebuah karpet bercorak kotak putih merah yang digelar di atas rumput, lengkap dengan bantal dan selimut. Pohon yang menjulang tinggi menghalangi sinar matahari, ada taburan bunga putih yang mengelilinginya, dan desiran angin sepoi-sepoi mengalun lembut menambah suasana di sini menjadi lebih sejuk.

“Oh, tempat yang sangat cantik!“ seruku gembira, manik mataku langsung tertuju ke arah piano besar berwarna hitam di ujung sana. “Ada piano! Boleh aku ke sana?“ Jariku menunjuk ke arah piano hitam yang duduk manis.

Arty meletakkan nampan tersebut di atas karpet, ia lalu berbalik menatapku sembari mengangguk. “Tentu, tempat ini sudah kusewa. Jadi Nona Kecil bisa berjalan-jalan sesuka hati.” Sebuah senyuman terukir di wajahnya, apakah suasana hatinya sudah membaik? Syukurlah kalau begitu.

Berjalan pelan ke salah satu bagian yang dibatasi dengan pilar-pilar yang berbeda. Di samping kanan terdengar suara percikan air, ada sebuah kolam kecil dengan ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Bahkan terdapat banyak enceng gondok yang mengapung di atasnya.

Aku duduk di atas kursi yang menghadap tuts piano yang masih tersusun rapi. Arty berjalan mendekat ke arahku, ia lalu bersandar ke salah satu sisi piano dengan tangan yang disilangkan. “Apa yang akan kau mainkan hari ini, Nona Kecil? The Swan? Moonlight Sonata?” tebaknya asal-asalan.

Aku hanya menyengir geli, menjawab dengan sedikit tersipu, “Entahlah, aku hanya akan bermain asal.”

Alisnya mengerut, tatapannya berubah lurus dan penuh keraguan. Melihat reaksi yang dibuat Arty membuatku ingin tertawa, apa dia takut kalau aku akan bermain dengan gonjang-ganjing seperti pemain musik jalanan?

“Tenang saja, Tuan Earl. Aku cukup mahir dalam hal ini. Dulu aku pernah memainkan piano versi kecil. Jadi tenang saja, duduk manis, dan nikmati musik yang akan kumainkan.” Kuregangkan kedua tanganku ke atas, siap untuk berperang dengan tuts-tuts piano yang cantik di depanku.

Jari-jari lentikku mulai meraba setiap tuts dari ujung ke ujung, lalu menekan beberapa dari mereka dengan manis. Tak lama setiap ketukan menciptakan iringan lagu Salut d'Amour, salah satu lagu kesukaanku kalau iseng menyelinap masuk ke dalam opera.

Angin pun sampai ikut berdansa mengikuti alunan piano. Dua burung biru bertengger di atas badan piano, mereka sepertinya ikut hanyut dalam setiap desiran melodi khas yang dikeluarkan. Nada demi nada membisikan musik tanpa lirik, namun dipenuh dengan arti membekas untuk yang terkasih.

Manikku melirik ke arah Arty, matanya terpejam, tubuhnya tenang, dan awan hitam yang baru saja menutupi wajahnya sudah lenyap. Melihatnya membuatku tersenyum tipis.

Fokusku kembali kepada jari-jariku yang masih berdansa di atas lantai hitam putih yang menawan. Tubuhku ikut melayang mengikuti melodi yang melambung tinggi dengan lembut.

Suara dentingan mulai melambat, tak lama lagu pun selesai kumainkan. Arty membuka matanya, aku bisa melihat mata ungu pucatnya yang mengkilap, wajahnya datar sampai aku takut kalau permainanku seburuk itu

Aku terdiam beberapa saat, menunggu reaksinya yang tak kunjung tiba. “Apa ... permainanku tidak bagus?“ tanyaku sedikit ragu. Jari-jari lentikku sudah saling berdansa tidak karuan, bahkan aku hampir tidak bisa menatapnya lurus.

Tidak ada jawaban.

‘Apa dia marah? Apa permainanku memang seburuk itu?’

Hatiku mulai gelisah karena ia tidak menjawab pertanyaanku. Mungkin sebaiknya aku tidak menyentuh piano itu. Namun, bukannya ia menjawab, ia memilih untuk berjalan mendekatiku.

Masih duduk mematung, menunggu apa yang akan dilakukannya. Aku menonggak, mata kami saling beradu. Tubuhku rasanya seperti mau meleleh, padahal angin yang berembus bisa mengacak-acak rambutku sekarang juga.

Arty mendekatkan wajahnya, aku memejamkan mataku. Sebuah kecupan hangat mendarat di keningku, membuat tanganku bergetar hingga tak mampu menahan beban lebih lama lagi. Aku membuka mataku saat kecupan itu menjauh, kupandang manik pucatnya yang tenang, seolah bertanya apa yang ia lakukan padaku tadi.

Arty berbisik di samping telingaku, “Ciss.” Aku harap dia tidak bisa melihat telingaku yang sudah memerah karena gatal atau entahlah!

Tapi di situasi yang seperti ini, membuatku cukup ling lung. Ini terlalu tiba-tiba untukku, sampai-sampai rasanya rahangku ini lepas dari tempatnya. “M-maksudnya ...?” gagapku karena tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut.

“Permainanmu cukup bagus, Nona Kecil.” Ia menepuk kepalaku dua kali lalu berjalan ke arah dua pilar yang membatasi tempat ini. Ia berhenti tepat di antara kedua pilar, berbalik memandang ke arahku. “Jika tehnya dibiarkan di udara terbuka seperti ini, nanti dingin, loh,” cetusnya. Ia lalu mengulurkan tangannya.

Aku beranjak dari atas kursi, berjalan ke arahnya, lalu meraih tangannya yang terbuka lebar untukku. Arty menuntunku ke karpet merah tadi, sedangkan diriku sibuk memperhatikan perbedaan tangan kami. Tangan miliknya besar. Pikiranku jadi ke mana-mana.

Ah, kenapa aku jadi seperti ini? Sebelumnya ... tidak seperti ini. Harusnya ....

....

Lihat selengkapnya