Menjelang ulang tahun ke-55 pada tahun 2005, saya bingung memikirkan hadiah apa yang berkesan untuk saya bagikan kepada semua teman, sejawat, dan handai-taulan yang selama ini telah begitu baik kepada saya, dan mendukung saya di berbagai bidang kegiatan.
Akhirnya, terpikirlah untuk mengumpulkan semua cerita pendek yang pernah saya tulis selama ini. Pilihan itu saya lakukan karena masih banyak orang—termasuk di lingkungan teman-teman saya—yang belum mengetahui bahwa sebetulnya basis saya adalah seorang penulis. Saya memenangi sayembara mengarang tingkat nasional majalah Si Kuncung pada 1960 ketika berusia 10 tahun. Hadiahnya “hanya” cukup untuk mentraktir sahabat saya, Lie Kian Hien, makan mi bakso di sebuah rumah makan Tionghoa. Sejak saat itu pula saya menjadi stringer (pemberita lepas) dan penulis di harian Suara Merdeka dan Angkatan Bersenjata di Semarang.
Sebelum berusia 17 tahun, cerita pendek saya sudah dimuat di majalah Varia, majalah hiburan populer pada saat itu. Harian Indonesia Raya yang prestisius pun pernah memuat cerita pendek karangan saya. Tiga dari lima novel saya sudah dibukukan. Dua di antaranya bahkan sudah difilmkan dengan bintang utama Widyawati dan Sophan Sophiaan. Salah satu karier awal saya ketika pindah ke Jakarta adalah sebagai penulis iklan (copywriter) di sebuah perusahaan periklanan terbesar.
Sesuai dengan aliran waktu, eksistensi kepenulisan saya bergeser ke bidang yang lebih serius. Saya mulai dikenal sebagai kolumnis tentang lingkungan hidup dan masalah sosial lainnya. Majalah TEMPO pun mengorbitkan saya hingga dikenal sebagai kolumnis dengan fokus manajemen dan wirausaha. Saya bahkan akhirnya memimpin wakil redaksi majalah SWA. Menulis cerpen, akhirnya, menjadi semacam antidote alias penawar jenuh di tengah deadline regimes yang senantiasa mengungkung insan pers. Setiap kali saya jenuh dan lelah, menulis cerpen menjadi outlet yang menyegarkan jiwa.