Sebuah pertemuan yang begitu biasa awalnya. Bono mengenal Tiziana Gironi di Frankfurt pada salah satu pameran buku internasional. Sekalipun Tizi yang cantik itu selalu menarik perhatian Bono, tetapi hubungan mereka tidak pernah lebih dari surat-menyurat. Surat-menyurat itu pun bukan tentang hal-hal pribadi, tetapi tentang kerja sama penerbitan mereka. Bono membeli hak cipta dari beberapa buku yang diterbitkan perusahaan tempat Tizi bekerja. Hanya kawat Tizi terakhir saja yang bunyinya sedikit melebihi basa-basi bisnis.
“Kenapa tidak singgah dulu ke Milano sebelum ke pameran buku di Bologna? Kau bisa menjenguk kantorku dan kita bisa makan siang bersama.”
Kawat itu dikirim Tizi ketika mengetahui Bono akan segera datang ke Italia.
Ya, kenapa tidak? Bono turun dari taksi di sudut Via Alessandro Rizzli itu dan menjinjing tasnya masuk ke sebuah gedung. Seorang wanita muda bergaun punk hijau menunjukkan kamar Tizi. Bono mengetuk pintu kamar itu dan masuk.
“Hai!” Tizi terpekik. “Dari bandar udara langsung kemari?”
Bono menelan kembali kalimat “Hai, kau-tambah cantik” itu ke benaknya. Tizi memang tidak pernah memberi Bono kesempatan untuk menapak sedikit pun ke wilayah yang lebih akrab. Ketika Bono menawarkan sebuah pertemuan khusus di Frankfurt, dengan dalih mengkonkretkan pembicaraan, Tizi minta pertemuan itu diselenggarakan sambil makan pagi di Hotel Canadian Pacific. Sekarang ini, di Milano, Tizi pun hanya menawarkan makan siang. Yang ketiga nanti, tuntut Bono dalam hati, haruslah makan malam.
Dari saku sisi tasnya Bono mengeluarkan dua buah buku, melemparkannya ke atas meja Tizi, dan lalu ia duduk di kursi.
“Baru selesai dicetak dan sudah kubayar uang mukanya kepadamu, bukan?” Bono langsung memasuki cuaca bisnis. “Delapan kopi lainnya kukirim lewat pos. Aku tidak pernah bepergian dengan jinjingan lebih dari dua belas kilogram.”
Tizi menyapu pandang ke tas yang dibawa Bono, lalu menggapai buku itu.
“Bagus sampulnya,” kata Tizi dan mulai membalik-balik halaman buku itu.
Bagus matamu, puji Bono dalam hati. Juga hidungmu. Dan bibirmu. Tanpa dipesan, dua cangkir kopi dikirim ke meja itu. Harum kopi itu mulai menyamarkan bau parfum Tizi yang sejak tadi dicuri nikmati oleh Bono. Dijembanya cangkir kopi itu dan menghirupnya panas-panas.
“Perusahaan sedang kacau sekarang,” keluh Tizi.
“Karena resesi?” potong Bono.
Tizi menggeleng. Rambutnya yang tergerai ketika menggeleng itu menyibakkan rahasia baru. Sebelah anting-antingnya berwarna ungu. Sebelah lainnya berwarna kuning.
“Bosku masuk tahanan,” katanya pelan.
Bono tidak memotong. Ditunggunya Tizi meneruskan penjelasannya.
“Kau tidak baca koran?” tanya Tizi. Bono menggeleng. Bahasa Italianya belum bisa diajak untuk membaca Corrierre della Sera.
“Ia tersangkut organisasi P-2, diduga mempersiapkan propaganda subversi terhadap pemerintah.”
Bono bangkit dari kursinya.
“Mau makan siang di mana kita?” tanyanya.
Tizi memandangnya dengan mata membelalak.
“Kau tidak tertarik dengan pembicaraanku?”
“Kalau soal itu, bukan urusanku, bukan?”
Tizi bangkit dari kursinya. Dijembanya tas tangan dan mengais-ngais isinya untuk mengeluarkan kunci mobil.
“Ada restoran bagus yang agak jauh dari sini. Tetapi carne salata-nya enak,” katanya.
“Aku ikut,” kata Bono sambil menggapai tasnya. Mereka berjalan menuruni tangga.
“Kapan kau berangkat ke Bologna?” tanya Bono.
“Besok sore,” jawab Tizi pendek. “Atau malam, dengan kereta terakhir. Kau?”
“Aku berangkat siang ini juga. Tetapi aku akan singgah dulu ke Riva, di tepi Danau Garda, menjenguk saudaraku.”
“Tempat yang indah,” kata Tizi menghela napas. “Sayang aku tidak libur.”
“Ikut saja. Bosmu toh sedang ditahan,” tukas Bono memanfaatkan kesempatan itu. Tizi berhenti melangkah.
“Lucu. Tetapi usulmu itu memang tidak jelek.”
Keberuntungan memang sedang di tangan Bono. Mobil yang dikemudikan Tizi itu tidak pergi menuju restoran, tetapi ke apartemennya.
Bono menunggu sebentar Tizi membereskan koper yang akan dibawanya dengan tergopoh-gopoh. Bus terakhir ke Riva akan berangkat pukul 1.30 dari Piazza Bonaparte.