Ralisha membuka matanya perlahan. Dahinya mengernyit, memperhatikan tempat dirinya berada sekarang. Sebuah ruangan bernuansa serba putih, selang infus yang menancap di pergelangan tangannya, dan bau obat-obatan yang begitu tajam menyeruak ke indera penciumannya.
"Rumah sakit?" simpul Ralisha dengan nada bingung.
Saat ingin duduk, Ralisha tidak bisa menggerakkan kedua kakinya. Seketika, dia menjadi panik. "Apa yang terjadi dengan kedua kakiku? Kenapa tidak bisa digerakkan?" tanyanya bermonolog.
Ralisha terus berusaha untuk duduk, tetapi gagal berulang kali. Buliran air mata keluar dari sudut matanya. Bayangan demi bayangan kecelakaan maut yang dialami keluarga kecilnya itu, kembali terputar jelas di otaknya. Teriakannya, isak tangisnya, dan suara suaminya yang terakhir kalinya.
Pintu terbuka. Cepat-cepat, Ralisha mengusap air matanya agar tidak ada yang melihatnya menangis.
Nampak seorang gadis cilik sedang duduk di kursi roda dengan seorang suster yang mendorong kursi tersebut dari belakang. Gadis cilik itu melempar senyuman. Dia berusaha untuk tegar, walaupun sedih dengan apa yang terjadi pada suaranya.
"Nata," panggil Ralisha. Dia sangat bersyukur putrinya masih hidup dan selamat dari kecelakaan maut itu.
Suster itu mendorong kursi roda ke arah brankar agar Natasha bisa lebih dekat dengan Ralisha.
"Nata, syukurlah kau baik-baik saja," ucap Ralisha. Dia mengusap lembut rambut panjang putrinya. "Mama sangat mencemaskanmu."
"Bagaimana keadaan Nyonya sekarang?" tanya Suster.
"Baik, Sus. Namun, kenapa kedua kakiku ini tidak bisa digerakkan, Sus?" Ralisha balik bertanya.
Suster itu terdiam, lalu menunduk sedih. Sedangkan, Natasha menatap ibunya dengan ekspresi terkejut. Dia menggerakkan jemarinya, bertanya apa yang terjadi pada ibunya.
Ralisha mengernyit bingung. "Kenapa kau menggerakkan jemarimu seperti itu, Nak? Bicaralah pada mama." Dia baru menyadari leher putrinya terbalut perban.
"Apa luka di leher putriku ini parah, Sus?"
Suster itu menarik napas dalam-dalam. "Luka di leher Natasha cukup serius, Nyonya. Saya tidak bisa menjelaskannya kepada Nyonya. Biar dokter saja yang menjelaskannya secara detail."
Natasha menangis tanpa suara. Hati Ralisha terasa pedih melihat keadaan putrinya. Ralisha meraih tangan suster, lalu digenggamnya. "Apa yang sebenarnya terjadi pada kami, Sus?" Matanya melirik ke kanan dan ke kiri. "Di mana suamiku? Kenapa dia tidak datang bersama kalian?"
Suster itu tidak sanggup mengatakannya. Dia yakin Ralisha pasti akan bertambah sedih setelah mengetahui kebenarannya.
Ralisha menggoyangkan tangan suster itu. "Kenapa Suster hanya diam?" Menatap suster itu dengan tatapan memelas. "Kumohon, katakan yang sebenarnya, Sus!"