Ralisha dan Natasha tiba di depan pintu gerbang rumahnya. Ralisha menatap bangunan rumahnya.
Seharusnya, aku kembali ke rumah ini dengan kebahagiaan. Bersama Nata dan ... Eddie. Namun, semuanya sudah berubah. Kini hanya ada aku dan Nata, lirih Ralisha dalam hati.
Saat tangan Ralisha berusaha menggapai kunci, seseorang membuka pintu itu dari dalam.
Ralisha mengerutkan dahi. Siapa yang membuka pintu?
"Siapa kau? Kenapa kau ada di rumahku?" tanya Ralisha dengan nada bingung. Seingatnya, tidak ada seorang pun di rumahnya sebelum dia dan keluarga kecilnya pergi berlibur.
"Anda sudah ditunggu oleh Tuan Jack di dalam," ucap seorang pria yang bersetelan serba hitam.
"Jack? Kenapa dia bisa berada di rumahku?"
Natasha menggerakkan jemarinya, bertanya pada ibunya. "Siapa mereka, Ma? Aku takut."
Ralisha mengusap kepala Natasha dan menatapnya dengan lembut. "Tenanglah, ada Mama di sini! Kau tidak perlu takut, ya.”
Ralisha memutar roda pada kursi rodanya dan Natasha membantu dengan mendorong kursi roda ibunya dari belakang.
Di dalam rumah, ada seorang pengacara dan Jack yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Ada delapan bodyguard berdiri di sisi sofa. Sedangkan, bodyguard lainnya berdiri di setiap sudut ruangan.
Ralisha menatap sedih ke sekeliling rumahnya itu. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Kini rumah besar itu hanyalah sebuah bangunan megah yang hampa dan terasa asing. Tak ada lagi tawa canda seperti biasanya. Tak ada lagi kehangatan cinta.
Jack yang melihat Ralisha dan Natasha, langsung berdiri menyambut kedatangan mereka dengan seringaian miring. "Ternyata, kalian sudah datang."
Ralisha menatap tidak suka ke arah Jack. "Kenapa kau berada di rumahku?"
Jack tertawa keras. "Karena, rumah ini telah resmi menjadi milikku."
Ralisha membelalak lebar, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Eddie tidak akan bersedia memberikan rumah ini kepadamu."
Jack mengangkat alisnya, memberi perintah kepada pengacara itu untuk memberikan sebuah map berwarna kuning kepada Ralisha.
Ralisha pun menerima map itu dengan dahi yang berkerut bingung. "Apa ini?"
"Bukti bahwa Eddie telah mewariskan seluruh kekayaannya dan seisi rumah ini kepadaku."
Ralisha membuka map itu, lalu membaca lembar demi lembar kertas putih yang memang telah ditandatangani oleh suaminya. Dia bahkan mengecek keseluruhan isi dari tulisan tersebut berulangkali untuk memastikan kebenarannya.
Ralisha tersenyum hambar. "Skenario apa lagi yang sedang kau mainkan ini, Jack?" Dia menyobek map dan kertas itu dengan kasar, lalu melemparnya ke sembarang arah.
Jack tertawa, memberi tatapan meremehkan pada Ralisha. "Percuma saja, kau menyobek kertas itu karena kertas itu hanyalah salinan kertas yang asli."
Ralisha menggeram kesal. "Kau licik, Jack."
Jack tertawa ringan menanggapi ucapan Ralisha. Dia beranjak, lalu menghampiri wanita itu. "Kau dan putrimu itu masih bisa tinggal di rumah ini, tetapi dengan dua pilihan. Kita kembali seperti dulu dan menikah. Atau kau dan putrimu pergi dari rumahku. Bagaimana, Rali? Kurasa kau akan memilih pilihan yang pertama. Karena, aku yakin kau tak ‘kan bisa meninggalkan rumah ini yang begitu banyak menyimpan kenanganmu dengan Eddie. Sekarang, semua keputusan ada padamu, Rali."
Ralisha mendengkus. "Lebih baik, aku dan putriku pergi dari rumah ini daripada harus menikah dengan pria licik sepertimu."
Jack tertawa miris mendengar keputusan Ralisha. "Kau menolakku, Rali?" Dia mendengkus pelan. "Apa yang kau harapkan sekarang? Kakimu sudah lumpuh dan tidak bisa melakukan apa pun lagi."
Ralisha terhenyak. Memang benar yang dikatakan Jack, batinnya berkata. "Aku memang lumpuh sekarang, tetapi aku memiliki Nata yang akan selalu menguatkanku untuk tetap bertahan hidup."