Pak Effendi meneruskan gerakannya. Tangannya sudah menari-nari seperti seorang penari profesional yang agak kurang waras dan tak terkendali. Jari-jarinya terampil sekali mempermainkan puncak bukit hijau dari sebuah hutan yang tidak pernah di jamah oleh nmanusia.Dia sama sekalit tidak perduli akan tulisan hutan larangan oleh Pemerintah setempat.
"Pak, nanti isteri Bapak tahu!" desis Anen berusaha mengingatkannya, agar tidak memasuki hutan larangan itu.
"Aku belum beristeri!" sahut pak Effendi. Dia memang benar, belum beristeri. Tapi sudah bertunangan.
"Aaaahhh!" seru gadis muda ngeri itu melihat kenekatan pak Effendi memasuki daerah terlarang di bukit itu meskipun sudah ada tulisan di larang masuk. Sehingga pak Effendi semakin bersemangat melakukan perjalanannya menerobos makin ke dalam hutan itu. Pak Effendi menjadi sangat penasaran dengan hutan larangan itu, dia sengaja menjelajahinya dan menerobosinya sehingga segala rumput hijaunya jadi teracak-acak karena diinjaknya dengan kasar.
"Pak, jangan!" Desis Anen ketika pak Effendi menyingkapkan penutup terakhirnya.
"Mengapa?"
"Aku takut!"
"Takut apa?"
"Takut Bapak tidak bertanggung jawab!"
"Aku akan bertanggung jawab!"
"Benar?"
"Sungguh!"
"Oh My God!" bisik Anen tidak perduli dengan resiko lagi. Alangkah indahnya dunia. taman hutan yang terlarang itu sungguh indah dan mempesona. Pak Effendi merobosnya dengan tidak memperdulikannya. sehingga hutan yang tidak pernah di injak manjusia itu menjadi rusak.
"Benar Bapak akan bertanggung jawab?"
"Apa perlu saya bersumpah!"
"Bapak tidak menyesal?"
"Hutannya begitu indah dan asri. Apa yang kusesali?"
"Sungguh?"
"Swear!"
Pak Effendi memang manusia aneh dan nekad. dia berlari jatuh bangun dan terkadang terguling ketika menjalani hutan larangan itu, tetapi dia segera bangun kembali dan merasakan tubuhnya berkeringat karena turun naik bukit yang cukup mterjal dan lebat..
"Tapi kita bukan pasangan resmi, Pak?" desis Anen mengingatkan.
"Apa bedanya?"
"Ini terlarang, Pak. Kita bukan pasangan resmi, tidak boleh sampai ke sini!"
"Sekarang sudah tidak lagi!" bisik pak Effendi acuh tak acuh.
Anen memejamkan matanya. Anen melupakan segalanya. Dia lupa akan tata karma dan larangan. Anen lupa pada pacarnya. Anen lupa kalau itu tidak dibolehkan. Yang ada dalam hatinya hanyalah hasrat untuk segera ikut masuk ke dalam hutan larangan itu. Suatu perasaan menggebu-gebu ingin semuanya segera dituntaskan. Dia ingin pak Effendi menunggu dirinya terlebih dahulu, dia akan segera menyusul.
Pak Effendi menunggu tubuh Anen berlari menyusulnya. Tubuh mungil Anen terlihat berlari kencang ke arah pak Effendi. Sepertinya gadis itu juga tidak perduli dengan keadaannya, dia ingin segera sampai di mana pak Effendi yang sedang menunggu dirinya.
"Aauuhh...!" Teriak Anen ketika tangannya di pandu pak Effendi ke suatu arah yang agak menyeramkan.
"Memangnya kenapa?"
"Saya ngeri, Pak. Itu hutannya sangat gelap. !"