Siska memandang kawan satu kamarnya dengan penuh perhatian. "Nen, kamu pikir dari mana kuperoleh semua perhiasan, kendaraan dan tabunganku di bank?"
"Jadi...Jadi?" desis Anen tidak mampu meneruskan kata-katanya, karena dia sama sekali tidak menyangka kawannya menjual dirinya dengan boss mereka.
"Betul. Semuanya itu pemberian pak Effendi!"
"Itu sama saja dengan menjual diri, Sis!" kritik Anen tajam.
"Jangan terlalu idealis lah, Nen. Kita ini perlu hidup. Setiap hari kita perlu makan. Kita perlu berbagai macam materi untuk kebutuhan hidup kita."
"Tapi kan tidak harus dengan menjual diri, Sis!"
"Tidak ada bedanya, kawan. Semua orang hidup dengan menjual dirinya...!"
"Maksudmu?" tanya Anen bingung. Keningnya berkerut tujuh memandang kawan sekamarnya ini. "Bagaimana kita semuanya menjual diri dalam hidup ini?"
Siska menarik nafas panjang beberapa kali. "Nen, Kamu lihat peragawati? Kamu lihat bintang film dan sinetron? Kamu lihat pramuniaga? Kamu lihat receptionist? Kamu lihat pramugari? Dan sejuta contoh lainnya. Mereka toh menjual diri juga...!"
"Tapi ... Tapi kan itu beda...!" desis Anen ragu-ragu.
"Apanya yang berbeda? Kamu kira kalau pramugari itu tidak cantik dan tinggi semampai, orang mau memakai mereka? Apa kamu pikir perusahaan penerbangan mau merekrut seorang pramugari dengan tubuh gembrot, hidung pesek dan lusuh? Bisa bangkrut perusahaannya. Berartikan mereka di bayar atas dasar tubuhnya. Kan sama juga mereka menjual diri mereka secara halus...!"
"Tapikan otaknya diperlukan juga.."
"Tubuhnya dulu, baru otaknya."
"Aku semakin tidak mengerti...!"
Kamu memang masih lugu
"Sementara ini kamu tidak perlu mengerti. Kamu jalani saja apa adanya."
"Tapi kan itu dosa, mbak!"
"Sekarang jangan pikirkan dosa. Yang perlu kamu pikirkan adalah bagaimana untuk bertahan hidup. Dengan ijasah SMU yang kita miliki, kamu pikir kita bisa di terima kerja di mana? Sarjana saja ada ratusan ribu yang menganggur...Bahkan yang S3 saja ada yang bunuh diri karena tidak dapat kerjaan. Jadi bersyukur kita ini, meskipun hanya tamatan SMA tetapi sudah mampu menunjang hidup kita sendiri."
"Tapi bagaimana aku bisa menikahi pacaru kalau aku sudah tidak perawan lagi?"
"Carilah lelaki yang mau menerimamu apa adanya..."
Anen tidak memberikan komentar. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi. Semuanya sudah terjadi. Kegadisannya telah direnggut oleh pak Effendi. dia juga tidak mungmkinlah mengganti pacaranya semudah itu, memang dia baju apa?
"Pada mulanya akupun sangat menyesal ketika pak Effendi merenggut kegadisanku." Kata Siska tanpa ekspresi. "Tapi lama-lama aku malah jadi menyukainya. Bahkan aku melakukannya tidak hanya dengan pak Effendi saja ..."
"Apa?" Kata Anen dengan nada meninggi. "Kamu malah menyuainya?"
"Kamu kaget?"
"Ya..." Jawab Anen sambil mengangguk.
"Mungkin kamu heran dan tidak bisa menerima. Tapi akhirnya aku jadi suka bertualang dengan berbagai tipe laki-laki..."