"Ayah..." Teriak Berti dan langsung menghambur ke tempat tidur di mana ayahnya terbaring tidak berdaya. Berti datang bersama Yudi dengan mengendarai mobil Daihatsu Hiline Ranger ketika di beritahu melalui telpon satelit bahwa ayahnya jatuh sakit di Pontianak.
Dia sengaja mengajak Yudi karena menyadari sepanjang perjalanan banyak bahaya mengancam. Jarak Ketapang Pontianak yang jauhnya ratusan kilometer tidak dirasakannya. Sehingga ketika sampai di rumah keadaannya betul-betul kusut masai.
Tetapi demi cintanya pada sang ayah, dia rela tidak berhenti makan dan minum di perjalanan. Berti menyadari jika ayahnya agak kurang menyukainya, karena dia adalah anak perempuan dan di anggap membawa pengaruh buruk terhadap rezeki keluarga mereka. Bahkan saudara-saudaranya yang lainnya tidak menyukainya, karena mereka mengganggap Berti sebagai pesaing utama kelak di dalam memperoleh harta warisan jika orang tua mereka telah tiada.
Sewaktu pergi sekolah ke Amerika pun tidak ada saudara-saudaranya yang setuju. Mereka anggap itu hanya akan membuang uang percuma. Tetapi Berti tidak perduli. Dia ingin memperoleh master di bidang bisnis dan menimba pengalaman di sana. Dan yang membuat dirinya tidak goyah, adalah selama studinya di sana dia tidak minta kiriman uang satu senpun. Karena dengan kecerdasan otaknya dan kecantikannya, tidak sulit baginya untuk memperoleh pekerjaan. Tetapi biarpun demikian, sebagai wanita Timur, Berti tetap menjaga kesuciannya.
Ayahnya memandangnya dengan sinar mata tidak senang. Berita putusnya pertunangan Berti dengan Effendi membuat ayahnya jadi marah bukan main.
"Masih punya muka kamu datang kemari?" Bentak Valentino, abang Berti dengan wajah garang. Adik-adiknya yang lainpun memandangnya dengan perasaan benci. Karena menurut mereka, karena kelakuan Bertilah maka ayah mereka jadi jatuh sakit.
“Berti...!” Sebuah suara yang sangat di kenal gadis ini berdesah di antara suara abangnya. Berti menoleh sebentar tetapi cepat memalingkan muka. Karena “Effendi”, manusia yang paling di bencinya di muka bumi ini rupanya hadir juga di situ.
"Ayah, maafkan aku...!" Jerit Berti sambil berlutut di depan tempat tidur ayahnya.
Di antara yang hadir itu hanya ibunya saja yang tidak memarahinya. Ibunya percaya akan anak gadisnya ini. Dia sudah besar dan berpendidikan tinggi lagi. Jadi keputusan apapun yang telah di ambilnya tentu setelah melalui pertimbangan yang matang. Apa lagi masalah pernikahan bukanlah masalah yang sepele.
"Ibu...!" Desis Berti lalu berlutut juga di depan ibunya. Wanita yang sudah berumur itu mengelus-elus pipi anak gadis satu-satunya ini.
"Sudahlah, Nak." Hibur ibunya dengan kata-kata yang lembut dan belaian penuh kasih sayang.
"Gara-gara kamu hingga ayah jatuh sakit...!" Bentak Valentino dengan kemarahan yang meluap-luap. Sedangkan Effendi tidak berani menegur Berti lebih jauh. Tetapi Bertipun heran sendiri, mengapa manusia bejat seperti itu masih punya muka menghadap orang tuanya?
Berti tidak menjawab. Dia tidak mau bertengkar di depan ayah mereka yang sedang sakit. Sebab kalau pertengkaran itu sampai terjadi, maka kedatangannya bukannya meringankan penderitaan ayahnya, tapi malahan akan membuat orang tua itu semakin sakit.
Berti menyadari jika ayahnya dan saudara-sadaranya tidak menyukai dirinya. Tetapi dia tidak perduli. Dia tetap mencintai mereka. Sebab Berti sadar tanpa ayahnya tidaklah mungkin dia hadir ke dunia ini. Dan terhadap kebencian saudara-sadaranya diapun maklum. Mereka semuanya tidak ada yang tamat SMU. Karena kerjaan mereka hanyalah berjudi dan main perempuan. Tidak ada yang serius sekolah. Sehingga mereka takut kalau harta warisan semuanya jatuh ke tangan Berti. Padahal diam-diam di dalam hatinya Berti sudah mempunyai sebuah keputusan. Dia tidak akan menerima satu senpun dari harta warisan ayahnya.
"Maafkan aku, Bang!" Seru Berti sambil mengulurkan tangannya kepada abangnya. Tetapi Valentino tidak perduli. Berti tidak marah. Dia hanya tersenyum dan berjalan ke arah ayahnya. Di ciumnya pipi orang tua itu dan dengan penuh kasih di urutnya tangan ayahnya.
Sebenarnya ayahnya tidak juga terlalu membenci anaknya ini. Tetapi karena fitnahan saudara-saudaranya yang lain yang mengatakan Berti banyak membuang uang perusahaan untuk mentraktir kawan-kawannya dan berhura-huralah yang membuat ayahnya jadi tidak terlalu menyukainya. Hanya saja kesalahan pak Budicandra, dia tidak menyelidiki terlebih dahulu akan laporan anak-anaknya yang laki-laki. Apa lagi Berti tidak pernah mencoba membela diri ataupun menyangkal tuduhan saudara-saudaranya itu. Sebab bagi Berti, bagaimanapun kebenaran akhirnya akan muncul juga.
Dengan siapa kamu datang kemari, Nak?" Tanya ibunya dengan lembut.
"Bersama seorang kawan, Bu." Jawab Berti lirih.
"Perempuan?"