Hanya dalam tempo beberapa menit Yudi sudah mampu menyusul sebuah bayangan yang membopong tubuh Berti. Maka dengan gerakan burung elang menyambar ikan di sungai, Yudi melentik tinggi dan sebelum laki-laki itu menyadarinya tubuh Berti sudah berpindah ke tangan Yudi. Dia membawanya meloncat dan berdiri kurang lebih sepuluh tombak di depan laki-laki itu.
"Kurang ajar. Lagi-lagi kamu yang sok usil...!" Maki laki-laki itu marah.
Yudi memandangi laki-laki yang ada di depannya itu dengan tatapan tajam.
"Siapa kamu sebenarnya?" Tanyanya tenang. Karena sesungguhnya memang tidak ada permusuhan di antara mereka.
"Namanya Otong.!" Bisik Berti mencoba memberi tahu.
"Aku? Siapapun aku, kamu tidak perlu tahu dan bukan urusanmu. Yang penting, kembalikan wanita itu padaku!"
"Kalau kamu mau membunuh wanita ini, itu berarti menjadi urusanku..." Bantah Yudi tetap dalam keadaan tenang.
"Hhuhh!" Dengus lelaki itu sambil mencibir. "Dasar anjing pengusaha...!"
Yudi menggelengkan kepalanya. "Kamu salah paham. Aku hanya tidak mau kamu salah sasaran."
"Aku salah memilih sasaran?" Desis pemuda itu marah. "Kamu tahu apa?"
"Tetapi wanita ini tidak tahu apa-apa...!"
Laki-laki itu kembali tersenyum. Namun karena wajahnya tidak terurus, maka senyumnya lebih menyerupai seringai.
"Kamu katakan dia tidak tahu apa-apa?
"Betul..."
"Dia adalah puteri pengusaha Budicandra, pemilik perusahaan plywood terbesar di Kalimantan ini...!"
"Kalau kamu tahu, berarti kamu sadar jika gadis ini tidak mempunyai salah denganmu..."
"Justru karena itu maka dia harus di bunuh..."
"Di bunuh? Kata-katamu semakin kacau."
"Ayahnya telah mengangkangi tanah leluhurku. Dia mendirikan pabriknya di atas tanahku dan tidak membayar satu senpun kepadaku..."
Yudi terdiam. Pikirannya jadi melayang jauh. Betulkah itu? Memang Yudi menyadari jika para pengusaha sering berbuat tidak adil terhadap masyarakat kecil.
"Mengapa kamu serahkan tanahmu?"
"Aku? Menyerahkan tanahku?" Bentak orang itu dengan marah. "Aku tidak pernah menyerahkan tanahku kepada jahanam itu. Tapi entah bagaimana dia tiba-tiba telah memiliki sertifikat tanah itu, dengan kertas bersegel yang meterainya jauh lebih tua dari sertifikat milikku...!"
"Mengapa tidak kamu ajukan ke pengadilan?"
Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak dengan nyaring sekali, sehingga Berti jadi tersiksa, karena suara tertawanya dibarengi dengan tenaga dalam yang hebat.
Orang ini pasti sudah gila
"Pengadilan, katamu? Pengadilan apa...!" Gerutunya marah. "Di zaman edan ini apa kita harus percaya pada pengadilan? Sekarang semuanya dapat di bayar dengan uang. Keadilan dapat di beli. Kebenaran dapat diputar balikan. Semuanya bisa di atur...!"