Keadaan di dalam pabrik milik konglomerat terkenal Budicandra itu hiruk pikuk. Suara mesin pabrik yang sedang memproduksi plywood sangat berisik dan memekakan telinga.
Berti berjalan di samping Dadang, manager Produksi yang di perintah oleh manager Unit PT. Tunggal Eliot Sentosa, untuk mengajak dia berorientasi keliling pabrik milik ayahnya itu.
“Sudah pernah masuk ke pabrik, Bu?” Tanya Dadang dengan suara berdengung, karena mulut dan hidungnya ditutupi masker.
Gadis itu menggelengkan kepala, “Belum!”
Berti baru kali ini memasuki lokasi pabrik. Karena sejak kecil dia hanya sekolah dan sekolah. Apalagi letak rumah mereka ratusan kilometer dari pabrik. Namun setelah menyelesaikan MBAnya di University of California Los Angeles (UCLA), Berti ditugaskan oleh ayahnya untuk membereskan persoalan manajemen di pabriknya itu. Karena akhir-akhir ini biaya produksi dan biaya siluman membengkak. Tapi produksi terus menurun.
“Baiklah. Kalau begitu kita mulai dari logpond, Bu.” Ajak Dadang!”
Berti berusaha menjajari langkah Dadang yang panjang sambil memperbaiki letak maskernya. Rasanya kurang enak dan membuat susah menarik nafas. Tapi karena debu-debu halus di pabrik itu memang banyak dan berbahaya, maka setiap orang yang memasukinya harus memakai masker.
“Ini namanya logpond!” Kata Dadang sambil menunjuk ke sungai di mana ada beberapa rakit log di tambat.
“Bukankah logpond itu maksudnya kolam kayu?” Tanya Berti, karena baginya berbahasa Inggris itu sama seperti dia berbahasa Indonesia saja.
“Kalau diterjemahkan secara harfiah sih memang begitu, Bu.” Jawab Dadang yang juga merupakan alumnus Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura Pontianak . “Tapi di sini maksudnya adalah tempat penampungan kayu sementara di darat maupun di air.
“Ooohhh!” Gumam Berti mengangguk kecil.
Dari logpond Dadang mengajak Berti ke logyard dan tempat-tempat lainnya sambil terus menjelaskannya.
Mereka lalu beralih ke tempat cuci log. Kemudian ke bagian Rotary.
“Kayu tipis yang sudah di kupas di rotary ini namanya veneer!”
Berti memperhatikannya. Matanya terpaut pada sesuatu yang membawa veneer itu berjalan.“Itu apa namanya?”
“Yang mana, Bu?”
Berti menunjukan sesuatu yang sedang berputar dan di atasnya veneer ikut terbawa.
“Oohh. Itu namanya conveyer...!”
“Kemana veneer itu di bawa oleh conveyer?
“Ke dalam Dryer, Bu!”
“Mengapa?”
“Untuk dikeringkan!”
“Apakah harus?”
“Ya. Sebab kalau tidak dikeringkan, maka lemnya tidak bisa melekat dengan kuat. Plywoodnya bisa mengkerut, tidak bisa bertahan lama atau kembung dan puluhan lagi kerugian lainnya!” Jelas Dadang.
“Rumit juga, ya!”
“Memang, Bu. Bahkan derajat panas dryer tidaklah sama untuk setiap jenis kayu. Masing-masing punya toleransi tersendiri.”
Berti kembali mengangguk kepalanya tanda mengerti. Tampaknya memproduksi plywood itu sepele, tetapi ternyata rumit juga, pikirnya. Dadang terus mengajak Berti berkeliling. Para karyawan yang bekerja saling berbisik-bisik melihat Berti berjalan di dalam pabrik. Mereka sangat mengagumi kecantikan Berti yang seperti bidadari itu. Tubuhnya begitu putih dan kulitnya halus. Rambut hitam panjangnya terhampar lembut di atas bahu. Sesungguhnyalah wanita secantik itu lebih pantas jadi Miss Universe dan tidak pantas masuk ke dalam pabrik yang kotor.