"Ingat. Walaupun perusahaan ini merupakan milik salah satu konglomerat raksasa Indonesia, tapi Ini tetaplah sebuah perusahaan keluarga.”
“Kalau berprestasi, bagaimana?” Kilah Hanang tetap ngotot dengan pendapatnya.
Yudi menggelengkan kepalanya. “Jelas prioritas utamanya adalah keluarga pengusaha."
"Tapi kalau prestasi kita bagus dan otak kita encer?" Hanang tetap yakin dengan pendapatnya.
"Pemilik tidak akan melihat APA YANG DIBICARAKAN. Dia hanya melihat SIAPA yang bicara.!"
Hanang diam. Dia mencoba mencernakan apa yang diucapkan oleh Yudi.
"Lalu kamu punya rencana apa?"
"Selama ini aku berusaha menabung sedikit-sedikit...!"
"Ingin membuka usaha sendiri?"
"Betul...!"
"Tidak takut gagal?"
"Gagal dan sukses itu adalah saudara. Apa yang ditakutkan?"
"Tapikan lebih aman kita bekerja di perusahaan seperti ini. Setiap bulan kita tinggal terima gaji. Kalau berusaha sendiri, jika gagal, habislah semuanya..!"
"Begini, kawan!" Kata Yudi sambil menepuk bahu Hanang.
"Saya tidak mau menghabiskan umur di perusahaan. Kamu lihat sendiri, jam enam pagi kita sudah harus masuk. Lalu istirahat siang hanya satu jam. Kita makan paling tidak memerlukan waktu setengah jam. Jadi hanya tinggal setengah jam. Sehingga kita tidak punya waktu untuk tidur. Padahal tidur siang itu perlu, karena mesin saja perlu istirahat, apalagi tubuh manusia. Nah, sore hari pukul lima seharusnya kita sudah pulang. Tapi karena banyak persoalan di pabrik, terkadang jam sebelas malam baru kita pulang. Belum lagi kalau ada persoalan di waktu malam, kita tetap di panggil." Jelas Yudi panjang lebar.
"Tapi itukan sudah resiko kerja...!"
"Memang benar. Tapi justru itulah yang membuat aku nekat mau berhenti!"
"Maksudmu?"
"Maksudku, untuk saat ini mungkin aku masih bisa tahan. Tapi kalau aku sudah berkeluarga, mana alokasi waktu untuk anak dan isteriku?"
Hanang terdiam. Apa yang diucapkan Yudi masuk di akalnya juga.
"Lalu sebaiknya bagaimana?"
"Tidak salah kita bekerja di perusahaan mana saja. Tapi kita harus punya target dan rencana..."
"Menjadi pengusaha, maksudmu?"
"Jadi apa saja. Itu salah satunya...!"
"Kamu yakin bisa?"
"Nang, " Kata Yudi perlahan. “Kamu tahu, pemilik perusahaan ini, esde-pun tidak tamat. Tapi berapa ribu orang yang tamat SMU bekerja padanya? Berapa ratus sarjana yang diberinya makan?"
"Itu tidak terpikirkan olehku.!"
"Justru itu. Seorang yang tidak punya ijasah esde saja mampu memberikan lapangan pekerjaan kepada ribuan orang seperti kita. Jadi bisa dibayangkan bagaimana sebenarnya kualitas kita. Seharusnya kita yang sarjana ini harus mampu memberikan lapangan pekerjaan kepada ratusan ribu orang...!"
"Tapi aku tidak yakin...!" Desis Hanang lemah.
"Kita harus yakin. Orang lain bisa, maka kitapun harus mampu!" Kata Yudi mantap.
Hanang memandang kawannya ini. Tampak kesungguhan dan semangat yang menyala terpancar dari wajah Yudi.
"Tapi apa yang bisa kita kerjakan? Semua lapangan usaha sudah dimonopoli oleh para konglomerat dan antek-anteknya? Apalagi kita tidak punya modal...!"
Yudi memandang kawannya sambil tersenyum. "Banyak sekali yang bisa kita lakukan. Tidak semua segi bisnis di sentuh oleh para konglomerat. Tetap masih ada peluang bagi kita. Karena mereka tidak mungkin merambah bisnis yang kecil-kecil. Itu tidak efisien bagi mereka dan kurang menguntungkan."
"Bisnis apa misalnya?"
"Banyak sekali!"
"Contohnya?" Hanang mendesak.
"Salah satunya. Di daerah banyak sekali perusahaan perkayuan dan perkebunan. Para karyawan dan keluarganya yang ribuan jumlahnya itu mengeluh tidak punya sayur mayur dan lauk pauk. Nah, bukankah ini sudah merupakan suatu peluang bisnis bagi kita?"
"Benar juga ya...!"
"Memang ya!"
"Tapi apakah tidak terpikirkan oleh orang lain?"
"Mungkin belum banyak. Kalaupun ya, kita tetap masih punya peluang."
"Kamu yakin?"