Fardan memejamkan mata sejenak. Membiarkan akal sehatnya beristirahat sebentar, menikmati kipas angin yang memberi embusan buatan menyegarkan. Setiap detik berlalu begitu saja, menebarkan perasaan rumit yang rasa-rasanya teramat salah. Robek antara kebingungan dan kegelisahan.
Rambut hitam Fardan tertiup angin dari kipas yang berada di sisi kasur. Netra layunya menatap satu pemberitahuan penting di layar ponsel. Mendadak jantungnya bertalu berlikut kekecewaan. Ekspresi masam kelelahan muncul secara jelas. Pemberitahuan pada layar ponsel bertuliskan bahwa: permintaan keringanan uang semester miliknya telah ditolak.
***
Ibu selalu bilang, bila Fardan telah masuk perguruan tinggi negeri, maka sudah seharusnya sekolah memberi keringanan pada perekonomian keluarga mereka. Nyatanya, Fardan malah mendapat besaran UKT golongan menengah. Ia harus membayar sebesar lima juta, tiap enam bulan sekali untuk kuliah.
Ibu tidak pernah mengatakan tidak sanggup membayar. Tetapi kondisi ibu sekarang yang sering menjual barang di rumah, sudah membuktikan bahwa perekonomian mereka saat ini sedang tidak baik-baik saja. Ungkapan kekecewaan tidak pernah keluar dari bibir lisan ibu. Namun, sekilas saja, Fardan juga dapat mengerti bagaimana kepedihan yang meliputi hati ibunya.
"Hei, itu cuma lima juta, masih golongan menengah bawah! Seharusnya nggak perlu dibesar-besarkan permasalahannya!" kata sebagian mereka yang pernah berbicara langsung, saat mendengar keluh-kesah Fardan.
"Lihat gue! Gue salah satu siswa dari perguruan tinggi swasta. Uang pangkal gue berkali-kali lipat lebih mahal. Seharusnya lo lebih bersyukur," sambung sebagian yang lainnya lagi.
Fardan masih ingat bagaimana ia berjuang mengurus berkas-berkas persyaratan. Bolak-balik ke warnet, sebab tidak memiliki printer. Pergi ke kelurahan dan kecamatan untuk meminta lembar surat keterangan tidak mampu, cap biru, serta tanda-tangan. Ia hampir kehabisan waktu mengurus segala berkas persyaratan yang terasa begitu rumit. Kerumitan itu pun bertambah kala Fardan harus mengetahui bahwa Sania, kakak perempuannya, batal menikah dengan kekasihnya.
"Di-dia udah nggak pernah lagi mengabari Kakak. Telepon Kakak juga nggak pernah ia angkat. Tapi tolong jangan beritahu Ibu dulu, Dek, tentang masalah ini," jawab Sania membalas pertanyaan Fardan perihal batalnya pernikahan tersebut.
"Kak!" Fardan menolak dengan tegas.
"Kakak nggak apa-apa. Jangan berlebihan!" kilah Sania.
"Apa maksudnya ini, Kak!" imbuh Fardan masih tidak terima.