Fardan segera mematikan ponsel setelah temannya, Respati, mengirimkan sejumlah uang ke rekening. Saat tengah siap-siap berangkat mengambil uang, dirinya mendapati ibu yang buru-buru masuk membuka pintu rumah. Aneh, padahal baru beberapa menit lalu ibu pamit ke pasar ingin membeli bahan-bahan warung. Tiba-tiba ibu menarik lengan Fardan. Mata Fardan membulat ketika linang air mata turun membasahi wajah ibu.
"Bu, ada ap—"
"Kakakmu, kecelakaan." Belum selesai Fardan menghabiskan kalimatnya, Ibu kembali mengujarkan kalimat yang sama dengan nada suara yang lebih tinggi, "Kakakmu kecelakaan!"
Fardan berkedip tak percaya saat sadar bahwa para tetangga sudah berkumpul memadati rumahnya. Sorot mata mereka mengisyaratkan tanda tanya besar tentang kegaduhan apa yang sedang terjadi di dalam rumah kumuh itu. Mendadak, tatapan Fardan terhenti pada Bu Ngatirah yang berdiri tepat di pintu depan. Tubuhnya gemetar dan terlihat sedang menahan tangis.
***
Fardan tidak pernah membayangkan betapa satu masalah dapat merambat ke masalah lainnya dan menjadi keretakan fatal. Ia hanya mencoba tetap bertahan karena sadar dirinya-lah harapan terakhir untuk keluarga. Tetapi sekuat apa pun, Fardan tetap lelah bila masalah terus menghampirinya.
Tak bisakah Fardan saja yang menggantikan posisi saudara perempuannya di dalam rumah sakit itu? Fardan tidak pernah mampu melihat penderitaan mengimpit anggota keluarganya seperti ini.
Mati rasa karena hawa dingin dari AC, tak sekali pun membuat Fardan berkedip atau beralih pandangan dari pintu IGD yang menangani Sania. Pikirnya saat ini, bila ia menutup mata sebentar, mungkin saja Sania akan menghilang dan meninggalkannya untuk selamanya.
Spontan Fardan menoleh sewaktu mendengar jeritan Bu Ngatirah. Pupilnya membesar melihat ibunya sudah jatuh pingsan di pangkuan Bu Ayu. Tepat di sampingnya, ada Bu Ngatirah yang mencoba menyadarkan ibu. Fardan semakin lemas dengan keadaan yang tengah dialami.
Lelaki itu memejamkan mata, dalam batinnya, Fardan berharap bahwa semua ini hanya mimpi atau kebohongan semata. Namun, kala kelopak matanya terbuka, Fardan masih mendapati dirinya berdiri di tempat yang sama.