Peti Uang

Art Fadilah
Chapter #7

7. Konfrontasi Paling Pelik

Langit telah berganti menjadi malam. Sesosok bulan menampakkan wujudnya, bercahaya redup dalam balutan gelapnya hitam. Fardan berjalan ke luar mencari ketenangan. Meninggalkan sebentar ibu dan Sania di rumah sakit. Memikirkan cara apa yang harus lelaki itu lakukan, demi mendapat uang dengan nominal yang banyak. Menelusuri beberapa jalan, langkahnya terhenti di satu titik, Warung Bu Nita.

Fardan menegakkan tubuh saat suara barang-barang hancur terdengar di telinganya. Piring-gelas pecah berhamburan ke tanah. Bungkusan jajanan beserta isinya berserakan terinjak di mana-mana. Pintu kayu milik Bu Nita pun terlihat tak bisa lagi digunakan. Terlihat pula Bu Nita yang tengah bolak-balik mencoba menghentikan pria-pria berbadan besar yang terus-menerus merusak warungnya.

Sisi kemanusiaan Fardan timbul. Ia berlari menembus gerombolan orang berjaket hitam. Berdiri menghalangi pria asing yang hampir memberi pukulan di wajah Bu Nita. Fardan ambruk terkena tamparan. Bibirnya berdarah, yang kemudian disusul teriakan Bu Nita menghampirinya penuh kekhawatiran.

"Mencoba jadi pahlawan eh?" Pria asing itu berujar. Setelahnya, mencengkeram kaus Fardan agar bisa berdiri sejajar menghadap wajahnya. 

"Apa ini adalah anak lo?" Pria itu, Astaguna, bertanya pada Bu Nita. Tak ada jawaban. Satu bogeman mentah pun melayang ke Fardan. Kini hidung Fardan ikut menjadi korban.

"Hentikan, dia bukan—" pekik Bu Nita yang segera Fardan potong dengan kalimatnya cepat.

"Ya, gue anaknya. Apa masalah—"

Belum sempat kalimat tersebut terselesaikan dengan baik, Fardan kembali dibanting dan dihajar habis-habisan. Lelaki itu tersungkur, seluruh wajahnya babak belur. Kepalan tinju Astaguna beralih ke ulu hati. Seketika hal itu membuat pupil Fardan membesar. Ia mulai batuk darah. 

"Kalau begitu bayar hutangnya, tolol!" Astaguna memberi tatapan dingin penuh ancaman. Bekas-bekas luka di wajahnya semakin menambah pancaran seram pada pria besar berotot itu. 

"Sudah tahu miskin, masih aja berutang. Kalo tahu nggak sanggup bayar, kenapa nggak jadi gelandangan aja? Idiot!" Gema suaranya terdengar mengerikan.

Fardan dapat melihat secara samar Bu Nita menyatukan kedua tangan sembari memohon. "A-aku akan membayar secepatnya. Hentikan untuk menyakiti anak itu. Dia nggak ada hubungannya dengan hutang-hutang yang udah suamiku lakukan." Isak tangis tergambar jelas pada wajah Bu Nita. Sekujur tubuhnya terlihat gemetar.

Lihat selengkapnya