Peti Uang

Art Fadilah
Chapter #8

8. Menyetujui atau Terpaksa Menyetujui

Fardan terbangun di sebuah ruangan asing dengan nuansa putih mendominasi. Terbaring di sebuah ranjang empuk yang tak pernah sekalipun pernah ia rasakan. Atap ruangannya kokoh dan tinggi. Terdapat sebuah jendela besar dengan pemandangan mengarah ke padatnya rumah penduduk Kota Jakarta. Pantulan sinar matahari dari jendela besar itu sukses menusuk retina. Kesunyian yang mecengkam menguasai suasana di dalamnya. Ia berusaha tersadar.

Memorinya kembali mengingat kejadian semalam. Ia ingat bahwa sekujur tubuhnya, wajah dan kepala, seharusnya dipenuhi darah dan luka terbuka. Anehnya tak ada setetes darah pun yang membekas di tubuhnya. Seakan disadarkan bersama rasa pening yang mendadak timbul, Fardan dapat merasakan bahwa bagian kepala sudah diperban bersama luka-luka lainnya.

Tatapan lelaki berambut hitam itu turun memandangi jemarinya yang sudah diobati sedemikian rupa dengan plester berwarna coklat. Setengah tubuh Fardan bahkan ditutupi selimut tebal yang seumur hidupnya tak pernah sama sekali ia gunakan saat bersama ibu dan Sania. Ia mengamati satu per satu furnitur di ruangan, sembari mencoba mengingat mengapa ia bisa berada di tempat seperti ini?

"Fardan Noorbintang, 19 tahun, Desain Komunikasi Visual di kampus negeri, anak bungsu dari dua bersaudara." Suara berat tiba-tiba mengudara memenuhi ruangan. Sorot Fardan beralih ke dua lorong gelap tak berpintu yang berada di sisi kamar. Dari dalamnya terdengar suara sepatu membentur lantai. Kalau diperhatikan ruangan yang ia tempati sangat besar sekali. Ada di mana sebenarnya dia? Sedang berurusan dengan siapa kali ini?

"Fardan Noorbintang, bertempat tinggal di dekat selokan got dan jalur kereta. Keluarganya nggak harmonis. Ditinggal sosok Ayah saat berumur ke-6 tahun. Saat SMP udah bisa mengoperasikan komputer. Ibunya membuka warung kecil di rumah. Saudara perempuannya hanya lulusan SMK Tata Busana dan sekarang bekerja sebagai perancang baju di butik kecil." 

Tatapan Fardan mulai memindai tiap benda terdekat yang bisa ia jangkau sebagai senjata. Jaga-jaga kalo hal buruk akan terjadi. Akan tetapi, sebetulnya dalam lubuk hatinya pun diliputi rasa takut apabila benar kemungkinan terburuk terjadi dan ia melukai pria itu. Hukuman pidana mungkin sudah siap menjemputnya di depan.

Lihat selengkapnya