Peti Uang

Art Fadilah
Chapter #11

11. Masih dari Jelita Estiana

Lampu-lampu neon menyala, terang dan memantul pada kursi-kursi yang mengarah menghadap layar lebar. Seperti aliran air dari dataran tinggi menuju dataran rendah. Pusatnya adalah sang layar yang berdiri tegak. Dalam sekali sentakan lampu mati secara serempak. Memperlihatkan layar bioskop yang kontras menyiram penonton pada visual pergerakkan. Dan dua kata berupa 'sayap kebebasan' sebagai pembuka penayangan film.

Ada semacam dinding tidak kasat mata di antara mereka berdua. Dalam kegelapan ruangan, Jelita menemukan bagaimana pupil hitam Fardan terserang pencahayaan remang. Jelita sadar bahwa bagaimana entahnya, Fardan terlihat menyimpan ribuan fakta yang perempuan itu tidak ketahui. Tertampak dengan Fardan yang bersikap hati-hati padanya. Jarak yang dilakukan Fardan seperti memperjelaskan batasan di antara mereka. Meninggalkan setitik kesesakkan pada hati Jelita yang mulai tidak percaya diri memperjuangkan kedekatan mereka.

Tidak bisa menahan diri untuk tidak meringis. Jelita memalingkan atensi kembali fokus pada layar film, melihat pemeran utama wanita berbaring di rumah sakit. Dokter telah memprediksi selang waktu hidupnya bertahan di dunia. Maka cinta hadir di tengah pemeran wanita melawan penyakitnya. Seperti apa yang diperkirakan, film tersebut berakhir tragis. Akhir yang tidak bersama. Pasangan yang terpisahkan oleh takdir. Arti dari judul film tersebut ialah, sayap kebebasan seorang penderita kanker dalam meraih kebahagian.

Kasus film ini kebahagiaan yang dimaksud berupa menemukan cinta.

Jelita tidak menangis apalagi tersentuh ataupun terharu. Dia menonton film secara datar tanpa pengekspresian. Kadang-kadang Jelita berpikir bahwa begitu menyebalkannya film memberi kematian pada akhir cerita. Ia mengutuk cerita-cerita menyedihkan seperti ini.

Jelita menarik napas dalam-dalam dan menegakkan tubuh. Meluruskan tulang punggung. Ruas demi ruas, garis loyalitas itu ditariknya. Hal itu tidak luput dari perhatian Fardan.

Berikutnya, setelah, penerangan yang semula mati kini berganti menyala. Fardan dan Jelita memutuskan untuk pergi makan siang, mengisi perut dengan satu atau dua menu makanan. Jelita ingat dirinya memesan makanan paket A, sedangkan Fardan memesan makanan paket B. Mereka sama-sama tidak ingin repot-repot memilih menu. Jelita tidak menyukai pedas, merasa menyebalkan oleh efek kala pedas menginvasi mulutnya. Berkeringat. Jelita benci berkeringat karena itu merepotkan dan membuat kurangnya kemenarikkan darinya. Berbeda dengannya Fardan menyukai makanan apa saja. Lelaki itu bahkan tidak mempermasalahkan makanan pedas.

Hingga sampai pada matahari yang tenggelam, langit berubah gelap. Hitamnya malam selayaknya menyambut bersamaan dengan iringan dingin sejuknya udara yang terhembus. Fardan dan Jelita sampai pada parkiran dan memasuki mobil yang sama. Mengakhiri pertemuan mereka dengan bioskop-makan-pulang. Monoton. Dan seperti pada umumnya.

Lihat selengkapnya