Peti Uang

Art Fadilah
Chapter #12

12. Bimo Penasaran dan Mencoba

Meninggalkan segalanya. Rumah, sekolah, keluarga, kehidupannya, mimpinya. Kepergian mendadak dan tanpa kata-kata. Dinding berbalut beberapa poster bergambar seram. Di lantainya, pakaian-pakaian serta lembaran kertas desain berserakan, membiarkan ruangan menjadi berantakan. Fardan menutup kelopak mata dan hidung, menarik napas secara teratur mencoba menenangkan debaran menyesakkan yang mendadak hinggap di dada, kebiasaan baru ini terasa melelahkan.

Sudah petang sekarang dan cuaca panas agak mereda. Tanpa mengenakan kaus dan hanya menggunakan celana pendek hitam saja, Fardan bangun dengan sempoyongan. Ia berjalan tersendat ke arah lemari pendingin, mengambil botol air mineral demi membasahi tenggorokannya yang terasa kering. 

Menyampirkan helai poni ke belakang, mata yang korneanya agak merah akibat kekurangan tidur itu melirik sekilas ke arah sketsa gambar yang belum selesai di atas meja. Senyum Fardan nampak pahit. Ia kemudian menaruh botolnya ke tempat asal. Selanjutnya beralih menduduki sofa empuk berwarna coklat.

Fardan diberikan banyak fasilitas mewah setelah setuju bergabung dengan organisasi. Di sini ia dilatih bela diri serta beragam tak-tik licik. Ia dijanjikan hidup sejahtera untuk setiap keberhasilan tugas-tugasnya dalam mengedarkan narkoba.

Ponsel Fardan berdering. Di layar tampak nama Bimo Yudhayana tertera di sana. Fardan berjalan mengambil benda persegi panjang itu dengan tidak terlalu berminat. Ia berhenti di satu titik, menyorot penuh ke arah kaca menampilkan seluruh tubuhnya yang tak memakai atasan. Ia memandang beberapa bekas luka baru di sana.

Setelah beberapa saat, akhirnya ia menekan tombol hijau di ponsel yang sedari tadi terus berbunyi. Sembari mengangkat telepon, ia menatap ke arah kaca. Sorotnya terlihat dingin, menampakkan visual yang seolah lupa bagaimana caranya berekspresi. Meyakinkan diri bahwa jika ia mampu melewati hari kemarin, ia akan mampu melewati hari ini. Hanya untuk sebentar saja. Fardan menyemangati diri sendiri.

Suara Bimo terdengar di ujung telepon, "Gue Bimo. Kita perlu ketemu. Gue kirim alamatnya sekarang juga." 

Fardan bergumam setuju. Setelah teleponnya mati, dengan hela napas kesekian kali dan putus asa, ia berjalan cepat menyambar kaus dan celana panjangnya bersiap untuk pergi. Matahari mulai tenggelam di barat, bola cahaya terangnya meninggalkan garis warna jingga pada langit. Saat Fardan membuka pintu, garis-garis cahaya sudah menggelap menjadi warna lebam.

Lihat selengkapnya