"Yakin ini yang lo mau?" Pertanyaan spontan keluar dari bibir Bimo. Memiliki efek sedemikian besar bagi Fardan yang akhir-akhir ini sering melamun. "Gue selalu kalah kalo make hero itu," lanjutannya yang sama sekali tidak didengarkan oleh Fardan dengan baik.
Fardan memilih larut dalam pikirannya sendiri, tanpa berniat memanjangkan obrolan atau menjawab pertanyaan Bimo. Ini bukan keinginannya, menjadi pengedar narkoba atau bersantai-santai seperti ini layaknya tidak memiliki pekerjaan. Fardan lebih senang menghabiskan waktu di depan komputer, menyelesaikan studi desain komunikasi visualnya di perkuliahan, dan setelah lulus dapat bekerja sebagai designer graphic. Namun, ia terpaksa dihadapkan kenyataan bahwa ia tidak bisa memiliki hal yang diinginkannya.
Sesaat Fardan terlempar ke masa lalu di mana ibu bertanya sekali lagi pada lelaki itu mengenai keputusannya mengambil perkuliahan desain, "Fardan, kamu yakin ini yang kamu mau?"
Seandainya saja ia terbangun dari mimpi panjang dengan kenyataan kalau keringanan uang semesternya diterima, Sania berhasil menikah dengan pilihan hatinya, atau menemukan sebuah karung berisi uang, agar mereka bisa memulai kehidupan baru dan memulai semuanya dari awal. Fardan tidak perlu melakukan semua hal memuakkan ini.
Suara kekalahan terdengar dari video game yang sedang dimainkan mereka berdua. Pandangan Bimo berpendar, "Lihat, kan, gue udah kasih tahu kalo hero itu nggak beruntung." Menyadarkan Fardan dari lamunan. "Ngomong-ngomong Lydia kayaknya bakal datang ke sini." Bimo menoleh dan seketika satu alisnya terangkat. "Sebenernya gue atau lo yang make obat? dari tadi dengerin apa yang gue bilang nggak, sih?"
"Gue denger." Fardan menyahuti tak acuh.
Bimo mengembuskan napas, "Terserahlah," katanya sembari mengangkat bahu.
***
Pukul 3 sore Lydia mengunjungi apartemen Bimo setelah meminta izin melalui ponsel. Bimo pun menyambut membukakan pintu, memberi ruang pada Lydia untuk masuk.
"Hai, By the way masih ada temen gue," beber Bimo menyapa sekaligus menerangkan, ia menutup pintu.
"Cepet banget lo berubah bahasa jadi lo-gue ke gue, Bim." Lydia tertawa kecil. Setelah melepas sepatu, dirinya berjalan ke ruang tengah. Pandangan Lydia jatuh ke arah lelaki yang baru saja selesai menenggak habis isi kaleng soda.
"Sekarang lo gue anggap temen, bukan partner," imbuh Bimo memberi alasan mengapa berbicara lebih santai, "oh, namanya Fardan, dia orang asing yang pernah gue ceritain mendadak ngasih sabu ke gue," sambungnya pada Lydia, setibanya di ruang tengah.
"Berarti dia pengedar?" Lydia bertanya penasaran.
Bimo mengangguk.
"Terus sekarang dia jadi temen lo?"
"Gue sering beli obat di dia, karena sering ketemu sekalian jadi temen ngobrol."
"Oh." Lydia bergerak duduk di hadapan Fardan untuk saling memperkenalkan diri.