Petrichor

Soradina
Chapter #2

Rakha dan Harinya

  [2014]

  Rakha terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Mimpi itu lagi.

Biar ia tebak. Pasti di luar hujan.

  Rakha menyibak selimutnya dengan terburu-buru. Ia sedikit berlari menuju jendela kamarnya. Lalu, dengan cepat ia membukanya. Halaman rumahnya basah. Bahkan tetesan air masih menetes dari genteng rumahnya.

  Petrikor menyeruak ke dalam indera penciuman Rakha. Ia menghela napas. Kemudian, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Selalu begini. Setiap hujan mimpi itu pasti datang."

  Rakha memandangi langit malam. Tak ada bintang. Artinya mendung masih berjalan. "Aku harus tidur. Besok pagi aku harus mengantar koran." Gumamnya.

  Rakha kembali menutup jendela kamarnya. Tak lupa ia kunci dari dalam lalu ia tutup dengan tirai. Sesaat sebelum ia hendak merebahkan tubuh, dilihatnya jam di dinding. Pukul 3 pagi.

  Rakha kembali menghela napas. Ada apa dengan semua ini? Mimpi yang sama. Di situasi yang sama. Dan di waktu yang selalu sama. Awalnya, ia masa bodoh. Namun, peristiwa yang ia percaya bukan suatu kebetulan itu, sering sekali ia alami belakangan ini.

...

  Pukul 5 dini hari, Rakha sudah mengendarai sepeda bututnya. Sepeda berwarna hitam yang sudah usang berkarat itu merupakan barang peninggalan satu-satunya dari mendiang Sang Ayah. Benda mati yang menjadi saksi bisu kehidupannya selama empat belas tahun.

  Puluhan koran sudah berada di dalam keranjang besar yang menempel di bagian depan sepedanya. Hari ini, ia kebagian jadwal untuk membagikan koran langganan di sebuah perumahan elit yang kebetulan dekat dengan sekolahnya. Oleh karena itu, sekalian saja ia kenakan seragamnya. Jadi setelah selesai, ia bisa langsung berangkat sekolah.

  Satu persatu koran itu Rakha lemparkan dari luar gerbang rumah pelanggan koran. Sambil bersenandung ringan, ia kayuh sepeda dengan perlahan. Tidak ada orang yang keluar. Jujur, suasana yang sepi ditambah langit yang masih gelap membuat tubuhnya sesekali bergidik ngeri. Bagaimana pun juga ia masih remaja muda yang memiliki rasa takut.

  Tidak ada setengah jam, seluruh koran sudah Rakha antar. Kini waktunya ia mencari sarapan. Ia tidak pernah sarapan di rumah. Ia selalu berangkat pagi-pagi sekali karena harus mengantar koran. Dan, ia tidak mau mengusik tidur Ibunya hanya demi membuat sarapan. Ia takut Ibunya akan marah. Lebih baik, ia sarapan di luar.

...

  Rakha menurunkan standar sepedanya. Setelah itu, ia beranjak menuju ke sebuah warung angkringan yang letaknya berada di pinggir jalan.

  Warung kaki lima yang hanya ditutup dengan terpal di bagian samping itu sudah menjadi langganan Rakha selama beberapa bulan terakhir. Selain karena harganya murah dan rasanya enak, letaknya juga tak jauh dari sekolahnya.

  Warung angkringan itu, buka selama 12 jam. Dari jam 7 malam hingga jam 7 pagi.

  Rakha duduk di sebuah kursi kayu panjang, di depannya ada meja yang berisi penuh makanan.

  "Selamat pagi, Bu!" Sapa Rakha dengan senyuman yang ramah.

  Ibu Sayuti -pemilik warung angkringan- yang sedang mencuci gelas-gelas kotor menoleh. "Eh, nak Rakha. Sudah datang. Tumben gasik sekali." Ucapnya.

  Ibu Sayuti ini asalnya dari Wonosobo, Jawa Tengah. Ia sekeluarga pindah ke Jakarta sudah setahun. Sebenarnya, suaminya memiliki pekerjaan yang mapan. Bahkan alasan mereka pindah ke Jakarta karena pekerjaan Sang Suami. Namun, anak pertamanya yang tak kunjung mendapat pekerjaan setelah lulus membuat Bu Sayuti memutuskan untuk membuka warung angkringan. Bila malam, anak pertamanya lah yang berjaga. Lalu, setelah subuh, gantian Bu Sayuti yang menjaga. "Daripada nganggur, mending Ibu buka warung. Biar si Soni ada kerjaan juga. Timbang di rumah terus ndak berbuat apa-apa. Toh, bisa mbantu beban Bapak walaupun sedikit." Sekiranya seperti itu jawaban yang di dengar Rakha ketika Bu Sayuti ditanya oleh salah satu pelanggannya mengenai alasan membuka usaha kecil-kecilan ini, padahal hidupnya sudah enak.

  "Iya, Bu. Kebetulan pagi ini dapat jadwal antar koran di perumahan dekat sini." Jelas Rakha.

Lihat selengkapnya