Bandung, Tahun 2006
Dulu, aku selalu menantikan turunnya hujan pertama selepas kemarau. Aku akan membuka jendela selebar mungkin, dan menghirup udara dalam-dalam. Karena di saat itulah, petrikor yang menjadi candu mulai menebarkan aroma yang damai dan menyenangkan. Aku sangat menyukai aroma itu, hingga aku akan mengembangkan senyum di wajahku. Lalu, aku akan menghalau tetes hujan yang jatuh dengan telapak tangan. Pikiranku yang terkadang diliputi kecemasan, seketika terhempas dan turut bersama aliran hujan yang semakin deras.
Namun, kini aku membenci petrikor. Aroma alam itu, tak lagi membawa damai dan kesenangan bersamanya. Kini, yang dibawanya hanyalah kesedihan dan air mata. Segala kenangan buruk bertahun-tahun silam, akan tergambar dengan jelas setiap kali kucium aromanya.
Seharusnya, aku sudah melupakan kejadian memilukan di masa kecilku itu. Namun, setiap kali aku melihat orang-orang yang kusayangi menderita karena kejadian itu, aku tak pernah bisa lupa. Perubahan besar terjadi padaku dan orang-orang di sekitarku. Harta yang terampas, harapan yang hancur, serta impian yang direnggut paksa, adalah kisah pilu yang terus kami bawa sampai kini.
Papa dan Mama harus rela kehilangan rumah warisan nenek moyang mereka. Rumah tempat Papa dilahirkan dan dibesarkan, serta menjadi tempatnya mencari nafkah. Papa dan Mama mencari nafkah dengan melanjutkan pengelolaan restoran yang ada di samping rumah itu. Restoran makanan khas Tiongkok yang diberi nama Roemah Liem.